Diposkan pada Super Generation FF

[Oneshoot] FF YoonHae – FAINT

Image result

Title : FAINT

Cast : SNSD Yoona, Super Junior Donghae

Author : Nana Shafiyah 

Genre : Romance, Friendship

Rating : PG-15

Words : 10000+

 

~Happy Reading ~

Sepertinya akan bermunculan persepsi diluar sana yang berkata bahwa aku salah mencintai seseorang. Tidak, aku mengabaikan seluruh komentar itu.  Aku lebih berfokus pada prinsipku sendiri, bahwa cinta tidak pernah salah. Namun apakah benar demikian ? Entahlah.

Bertemu dengannya seperti anugrah paling berharga dalam hidupku. Dia, seorang wanita yang dianggap negatif oleh sebagian besar orang karena pekerjaannya sebagai penyanyi kafe ditempat prostitusi. Diantara banyak hal, aku adalah salah satu yang percaya padanya bahwa ia tidak seperti apa yang orang lain pikirkan. Aku percaya bahwa wanita itu masih suci. Semua kesimpulan itu adalah hasil pengamatanku selama ini, ditambah insting sebagai seorang lelaki yang mengaguminya.

Im Yoona.

Nama itu terus terngiang – ngiang didalam pikiranku. Aku mengenalnya dua bulan lalu saat aku terlibat perkelahian di club tempatnya bekerja. Aku yang saat itu berusaha menarik temanku yang sedang mabuk malah dihadang paksa olah segelintir orang yang rupanya punya masalah dengan temanku. Mereka berusaha merebut temanku yang saat itu mabuk berat. Karena aku menghalangi niat mereka, aku pun menerima imbas dari sikapku. Satu tinju melayang diwajahku. Tiba – tiba Yoona datang. Syukurlah ia datang bersama beberapa petugas keamanan club. Pertengkaran bisa dihindari dan kami sempat bertatapan untuk terakhir kali. Debar – debar aneh muncul didalam dadaku setelahnya. Perasaan apa ini ?

Sejak hari itu, aku yang jarang mengunjungi club malam kini mulai rajin mendatanginya karena sebuah alasan. Aku ingin menyaksikan Yoona bernyanyi, aku ingin mendengar suaranya yang merdu. Aku memperhatikan Yoona, dan aku bisa menjamin bahwa ia tidak melakukan apa pun selain menyanyi. Aku mengamatinya sembunyi – sembunyi selama satu minggu dan aku belum sekalipun menemukannya bermesra – mesraan dengan seorang pria, mungkin beberapa pria menginginkannya tapi Yoona akan menolak semua tawaran itu.

“Kau pegunjung baru ?” Disuatu malam aku tidak sengaja bertemu dengannya. Aku sedang duduk di meja bar club. Beberapa teguk soju sudah tandas kuhabiskan. Yoona duduk disebelahku, memesan bir lalu menenggaknya langsung dari botol.

Aku tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Malah sibuk memperhatikan wajahnya yang dipenuhi rasa ingin tahu.

Tiba – tiba Yoona mengambil alih percakapan kami, “Sebenarnya aku tidak terlalu pintar meminum bir, tapi saat ini aku sedang frustrasi. beberapa teguk tak apa kan ?” wanita itu tersenyum, tampak tulus dan ringan, sangat berbanding terbalik dengan penuturannya yang berkata bahwa ia sedang frustrasi.

 “Siapa namamu ?” tanyanya seperti basa basi, namun tidak untukku. jantungku lantas berdebar sepuluh kali lipat.

“Donghae… Lee Donghae.” jawabku menelan ludah.

“Donghae ? nama yang manis.” tangapnya lalu menatap mataku dengan senyum yang tentunya masih terpatri, “Perkenalkan, aku Im Yoona.” ia menjulurkan tangannya. Tubuhku terhenyak sesaat sebelum membalas uluran itu, “Ya, aku tahu.”

Wanita itu mengerutkan dahinya, “Kau mengenalku ?”

“Tentu saja.” jawabku tertawa. Pengunjung mana yang tidak mengenalnya.

“Itu karena kau selalu menjadi pusat perhatian ditempat ini. Aku penggemarmu, aku meyukai suaramu.” jelasku tersenyum kagum. Yoona sempat menudukkan wajahnya sebelum ia menampilkan seulas  senyumnya yang menjadi semakin lebar. Jika boleh kutambahkan, alasan itu bukan sepenuhnya yang ada didalam pikiranku. Sebenarnya ada banyak alasan yang bisa menjawab pertanyaan kenapa aku menyukai Yoona.

Adalah segala – galanya. Bukan hanya suara, akan tetapi aku mengagumi sikap, wajah, senyum dan pesona lain yang memancar dari auranya. Katakan aku berlebihan, tapi itulah yang kurasakan.

“Benarkah ? aku merasa tersanjung.” Yoona memajukan wajahnya kearahku dan saat itu jantungku berpacu puluhan kali lipat dari sebelumnya. Wangi ubuh Yoona menguar didalam penciumanku, dan pikiran gila mulai hadir membayangi kepalaku.

“Hai Perempuan sok suci !!!”

Perhatianku teralihkan. Sosok pria kekar membalik bahu Yoona hingga menghadap kearahnya. Yoona memekik tertahan, senyum diwajahnya lenyap seketika dan perasaanku menjadi kacau karena hal itu.

Lelaki gondrong bertubuh tegak dihadapan kami menggebrak meja, Tatapan matanya yang sangar menghunus tajam kearah Yoona, “Ternyata kau sudah berani menggoda pria hah? ! Setelah kemarin kau menolakku dan berkata kau bukanlah perempuan penghibur ! Kau bilang hanya penyanyi di club ?! cuihhh ! lalu apa sekarang ? kau mau menjilat ludah sendiri ?! seenaknya saja mendekati lelaki !”

Yoona bergeleng kasar, wajahnya seperti memohon – mohon yang membuatku tidak habis pikir. Dalam hal Ini Yoona tidak bersalah sama sekali, Yoona berhak menentukan apa yang ia lakukan, itu kebebasannya, dan lelaki brengsek dihadapan mereka tidak berhak mencampurinya.

“Aku hanya mengobrol dengan sesama pelanggan. Tuan, aku tidak melakukan apa pun. mengertilah–“

“Halahhh ?!!!” potongnya lantang, “Omong kosong! awalnya kau bilang hanya mengobrol tapi lama – kelamaan aku yakin tujuanmu akan berubah !”

“Mian… Mianhae–“

“Akhhhh !”

Tubuhku ngilu mendengar jeritan Yoona, segera kutebas lengan lelaki berandal itu yang kini menjenggut rambut Yoona.

“Lepaskan! Dia berhak berinteraksi dengan siapa pun selama itu bukan lelaki bejad seperti anda, Tuan !”

“Apa kau bilang ?!!”

Telapak tangannya hendak melayang namun aku tidak tinggal diam, dengan segera kutinju wajahnya hingga ia mengerang kesakitan.

“Brengsek ?! kau sudah berani menantangku baiklah !”

Bughh !!

punggungku membentur permukaan meja ketika lelaki itu mengarahkan pukulannya. Sekilas kuseka luka pukulan dibagian rahang, cukup keras namun tidak ada apa – apanya bagiku.

“Cukup !!!”

Baru saja akan kulayangkan tinju balasan teriakan Yoona menginterupsi. Seketika seraganku hanya menggantung diudara.

Kulihat Yoona menyambangiku dengan wajah suram. Wajah itu dipenuhi gurat – gurat kebencian. Ada apa ini ? Apakah aku salah jika bermaksud membelanya ? Yoona menarikku kearah sudut Club, lalu mendorong tubuhku hingga membentur tembok.

“A-apa yang kau lakukan ? kenapa kau ikut campur urusanku ? hah ? !” teriaknya persis didepan wajahku. Aku menatapnya tidak terima.

“Mereka menyakitimu ?!” aku menatapnya sementara telunjukku menuding kearah  para berandalan yang sepertinya tengah berjalan kearah kami.

“Yak Lee Dongahe-ssi atau siapapun namamu ?! aku.. aku bisa mengatasi masalahku sendiri ?! Kau tidak perlu ikut campur dan bertingkah sok pahlawan, arasseo ?!”

Tatapan mata Yoona menunjukkan kemarahan, jujur aku tidak menyukai sosoknya yang seperti ini, aku merindukan senyumnya yang seperti tadi.

“Cepat bawa dia !!!”

“Yoona-sii !”

Rupanya lelaki berengsek tadi mengarahkan kedua kaki tangannya menyeret Yoona pergi. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, aku berusaha mengejarnya namun belum sejengkal tubuhku bergerak, beberapa pukulan lagi – lagi berjatuhan menghantam perutku.

Bugh… Bugh…

Selesai mengarahkan pukulannya, lelaki tu menjenggut kepalaku yang baru saja berbenturan  dengan permukaan lantai. Tidak lama setelahnya ia berbisik didepan wajahku.

“Hei man, asal kau tahu. Eomma perempuan itu sudah menjualnya kepada boss kami. Sekarang Boss kami sedang menunggu di kamar hotel.”

Aku ingin melawannya sunggguh, namun harapan itu menjadi tidak berarti saat seluruh tenagaku habis.

“Yoona-sii… sebenarnya apa yang terjadi ?” gumamku yang sudah tidak berdaya. Kesadaranku habis total. Terakhir kali, aku melihat lelaki itu pergi meninggalkanku.  Kuamati langkahnya dengan pandangan mengabur. Setelah itu semuanya gelap.

…………..

Aku terbangun didalam sebuah ruangan pribadi. Beberapa detik kemudian aku meyadari bahwa tubuhku tengah berbaring diatas ranjang milik seseorang, secepatnya kubenahi posisiku menjadi duduk dan menatap bertanya – tanya.  Sengatan diwajahku menyerang. Rasa sakit itu berdenyut denyut disetiap sudutnya. Sial. Rasa sakit yang dahsyat lantas mengingatkankku pada perkelahian di bar.

“Sudah sadar sayang ?”

Seorang wanita berpakaian sexy dengan hanya mengenakan kemben dan rok mini mendekatiku. Kadang aku heran, apakah wanita sejenisnya tidak memiliki sesuatu yang lebih layak didalam lemarinya ? Cih…

“Permisi, aku ingin pulang.” Tanpa menatapnya aku mencoba turun dari ranjang. Wanita itu mengambil langkah cepat dan bergegas mencegahku.

“Kau masih terluka, Oppaa…”

Bibirku tergagap mendengar suaranya yang begitu manja sekaligus menjijikkan. Bukannya aku tidak tahu siapa wanita itu, aku sangat hafal namanya So Eun Soo. Semua orang tahu bahwa wanita itu sangat terkenal dengan kekayaan serta kemolekan tubuhnya. Dia memegang kendali atas kegiatan club bahkan aku terpaksa mengakui kepicikannya mengendalikan bisnis prostitusinya, setidaknya itulah yang kudengar dari bisik – bisik para model didalam studio ketika aku tengah bekerja mengambil gambar mereka untuk sebuah majalah.

 “Menyingkirlah.” Kutepis tangannya mentah – mentah.  Eunsoo terdorong kebelakang. Tiba – tiba wanita itu tersengal – sengal. Kuhembuskan napas kasar. Kepura – puraan apa lagi ini ?

“Kau tega padaku setelah aku menyelamatkanmu dari orang – orang yang mencoba memukulimu ? karena siapa ? siapa itu, Im Yoona ?”

Langkahku berhenti didepan pintu ketika nama Yoona dibawa – bawa.

“Ini tidak ada hubungannya dengan Yoona dan aku… aku tidak pernah meminta diselamatkan olehmu.” Kutatap wanita itu tanpa perasaan apa – apa.

“Dimatamu, Apakah aku begitu hina ? Aku mencintaimu Donghae.”

 Lucu. Aku menatapnya sambil terkekeh dibalik itu aku benar – benar muak.

“Memangnya tahu apa kau soal cinta ?”

Wanita itu tergelak menanggapi namun ekspresinya tidak lebih dari sekedar wajah yang dipenuhi kekecewaan.

“Apakah aku begitu hina dimatamu ?” Satu persatu air matanya tertumpah dipipi, Eunsoo terisak. Sejujurnya aku mulai tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

“Apakah aku terlalu hina untukmu ?”

Aku tidak menjawabnya, aku tidak berselera— tidak ingin dan tidak punya niat sedikit pun.

“Apa karena… kau sudah mendengar bahwa aku tidak bisa  mengandung dan melahirkan keturunan ? apakah karena aku tidak sempurna sebagai wanita ? apakah karena aku… mandul ? kau tahu itu bukan ? jawab aku Lee Donghae ?! ”

Wajahku mengernyit bingung mencerna kata- katanya. Aku tidak tahu sedikit pun soal Eunsoo. Apalagi tentang penyakitnya atau apa… dia sangat lucu dan terlalu mengada – ngada dengan anggapannya.

“Ya.” Ucapku sekenanya. Aku tidak tahu apalagi yang harus kukatakan. Maka kubenarkan anggapannya yang konyol itu agar dia puas. Aku lantas pergi meninggalkannya yang termenung sendiri.

……………

Kehilangan sosok Yoona membuatku sedikit frustrasi. Setelah perkelahian itu Yoona menghilang dari club. Aku memang munafik dan bodoh merasa bahwa aku merindukannya hingga detik ini. Didalam kepalaku terngiang – ngiang wajah Yoona. Tidak ada lagi yang kupikirkan selain wanita itu, termasuk didalamnya tanggal ulang tahunku sendiri yang sialnya berlangsung hari ini.

Aku tidak pernah perduli dengan perayaan kelahiran semacam itu. Hari – hari berlalu dengan rasa yang sama, hambar dan sepi  bahkan ketika seseorang berinisiatif merayakannya—seseorang yang tidak kuduga – duga mengundangku secara langsung ke markasnya…

“Aku tidak bisa memberimu apa -apa tapi kuharap kau akan menyukai apa yang kusuguhkan ini.” ujar tuan Ki Seung Mo duduk dibalik kursi kebesarannya. Kumis lebat yang bergerumul dibawah hidungnya ikut bergerak saat lelaki itu mengendus. Penciuman lelaki paruh baya itu tidak pernah kehilangan kekuatannya, ia ahli mencium aroma sweet alysum yang sengaja ia sematkan pada tiap – tiap tubuh wanita yang menjadi koleksinya, bahkan dari kejauhan sekali pun.

Tidak menunggu waktu lama jejeran wanita masuk satu persatu dari pintu disudut utara. Kesemua wanita wanita itu mengenakan pakaian yang terbuka dan cukup mencolok seperti hotpans, bustier, tanktop, tidak ketinggalan rok bling – bling super mini. Rambut mereka pirang, dua diantaranya dicat merah, darkbrown, abu – abu, hijau, bahkan bepadu dengan warna kuning emas yang begitu menyilaukan mata.

“Kau bisa pilih wanita – wanita ini sebagai hadiah ulang tahunmu, Lee Donghae. Pilihlah satu.” ucap Seungmo santai menghisap api tembakau yang berlapis canklong tua.

“Kau tidak usah malu. Anggaplah aku sebagai sahabat dekatmu yang daripadanya kau tidak perlu lagi menyembunyikan apa yang kau inginkan.”

“Baiklah mungkin saat ini kau heran atau justru muak dengan sikapku yang sok kenal atau apa tapi perlu kau ketahui bahwa sebengis – bengisnya aku dimata orang – orang diluar sana, perbuatan baik seseorang tidak akan pernah lekang dari otakku.”

“Almarhum ayahmu telah berjasa menyelamatkan hidupku dari kejaran polisi yang saat itu merazia bisnis peluru illegal yang ingin kuselundupkan. Meskipun akihirnya bisinis itu hancur dan ayahmu meninggal.”

Masa lalu yang hitam itu membayangi kepalaku, selalu. Aku tidak bisa melupakan bagaimana kebodohan ayahku menyelamatkan seorang mafia. Dahulu ayahku tidak lain adalah kaki tangan Tuan Ki. Ayahku dan Tuan Ki bersahabat sejak dulu. Mereka menjalin hubungan dari benar – benar menderita hingga persahabatan mereka diselipi oleh motif bisnis dan uang, tapi ayahku yang bodoh itu tetap setia mengikuti perintah mafia itu yang perlahan menyihir keadaan ekonomi mereka, dari yang tadinya melarat kini membumbung pesat bahkan bisa dibilang status mereka mendekati para konglomerat diluar sana. Aku masih terlalu kecil saat itu, usiaku delapan tahun. Sejak keluargaku pindah kesebuah rumah megah, ayahku berubah tempramen dan pemarah. Ibuku pernah berniat membawaku kabur ketika ayah membawa wanita lain kerumah. kekayaan membelokkan hati ayah yang tadinya ramah menjadi bengis. Suatu hari keluargaku mendengar kabar bahwa ayah ditembak dalam sebuah operasi penyelundupan peluru. Aku masih tidak mengerti. Ibu menangis dan akhirnya memilih bunuh diri. Tidak ada satu pun didalam hidupku sesuatu yang benar – benar berharga untuk dikenang. Semua cerita itu tidak lain hanyalah sampah – sampah yang sulit didaur ulang dan akhirnya membusuk.

“Tetap saja, aku ingin berterima kasih atas jasa ayahmu mengorbankan diri dan bersedia menjadi kambing hitam agar aku tidak ditangkap. Syukurlah hidupku tertolong berkatnya yang bersedia mengaku sebagai gembong utama dibalik penyelundupan itu. Polisi yang bodoh itu tidak pernah tahu bahwa orang – orang dibalik layar sepertiku, sesungguhnya lebih berpengaruh menego konsumen gelap dari berbagai penjuru negeri.”

Beranjak memutar kursi yang didudukinya, Tuan Ki berjalan mengeliling posisiku. Kedua kaki ini rasanya kebas berdiri. Tampak lelaki tua itu menghirup cangklog rokoknya dengan sangat dalam, tidak lama bibir tebalnya menguncup lantas ia menghempaskan udara dari dalam rongganya hingga menghasilkan gumpalan – gumpalan udara yang berupa kepulan asap tebal dan membutakan. Bahkan gumpalan kabut putih yang menyesakkan itu sebagian besarnya menutupi penglihatanku dan membuatku nyaris batuk – batuk, sial.

“Hmm sedikit disayangkan, kebaikan Tuan Lee Min Ho baru bisa kubalas sekarang. Mengetahui anaknya sudah tumbuh menjadi pria dewasa, aku berinisiatif memberimu hadiah, tentu saja hadiah yang sesuai dengan lingkup bisnisku. Dan tadaaa, aku menjejalkan banyak pilihan, kau bisa memilih satu atau lebih diantara mereka sebagai teman tidurmu malam ini, gratis sampai pagi.”

Tuan Ki tertawa, sesaat pandangannya jatuh mengamati tubuhku, mungkin ia menyadari bahwa kedua tanganku yang mengepal ingin sekali meninju wajahnya.

“Tenanglah wanita – wanita ini tidak menderita penyakit kelamin atau sesuatu menjijikkan laiinya. Teamku sudah menyeleksi diantara ratusan wanita dan terpilihlah kesepuluh wanita ini. Dua.. tiga atau lima atau kau butuh lebih banyak.”

“Tidak perlu. Satu wanita sudah cukup.”

“Ah yaa kau memang bijaksana. Wanita cenderung memusingkan maka semakin banyak semakin memusingkan, bukankah begitu ? Hmm kalau begitu silahkan pilih salah satu diantara wanita – wanita ini, dan kalau boleh kusarankan…”

“Lihat, wanita berambut coklat abu- abu disana adalah barang baru… kelihatannya masih bersegel.”

“Atau kau lebih suka yang berpengalaman ?”

Jantungku seolah berhenti berdetak ketika tatapanku tidak sengaja berpapasan dengan seseorang yang kukenal. Kupikir ini mimpi. Aku berjalan mendekatinya. Aku benar – benar melihatnya saat ini ──melihanya berdiri dihadapanku sekarang bersama jejeran wanita yang dijejalkan oleh wanita lain. Im Yoona. Dan keputusanku menjadi bulat dan tegas.

Aku menginginkannya dan itu adalah satu – satunya alasanku untuk beranjak sesegera mungkin. Langkahku menapak dari ujung paling kanan. Satu persatu kutatap wanita malam yang dijejalkan tuan Ki. Seiiring berjalannya waktu, aku menjumpai beberapa karakter mencolok diantara berbagai wanita, beberapa dari mereka menundukkan wajahnya malu – malu, salah satunya tersenyum dengan wajah memerah dan tidak sedikit dari mereka mengedip nakal, satu atau dua menyodorkan buah dada mereka yang mengintip setengahnya.

Aku sudah terlalu muak dengan wajah – wajah itu sekaligus iba. Setiap wanita mempunyai hak untuk menjadi terhormat bukan ? jalan hidup mereka terbuka dimana – mana. Sangat disayangkan, mereka harus terseret kedalam situasi seperti ini, entah karena sukarela atau terpaksa, mungkin juga kedua – duanya. Pekerjaan gelap semacam ini dipenuhi kesenangan dan materi, bermodalkan tubuh sexy seseorang bisa dengan mudah menimbun kocek mereka. Apalagi jika ditambah kebutuhan bersenang – senang, pekerjaan ini adalah alternative paling mudah. Aku menyakini anggapan itu sejak lama, namun detik ini seorang wanita membuyarkan anggapan tersebut. Dia adalah seorang wanita yang menurutku tidak pantas untuk berada ditempat ini– tempat dimana orang – orang memuakkan itu berkumpul.

Pijakanku menemukan tujuannya. Kuhentikan langkahku dihadapan wanita yang berhasil menarik perhatianku. Tidak hanya hari ini. Sudah sejak lama pikiran liar tentang wanita itu mengganggu hidupku. Dia adalah satu – satunya yang menarik perhatianku, meski pun kini tatapannya sangat datar dan menusuk.

“Aku memilih… wanita ini.” ucapku dengan raut seadanya. Diam – diam aku mengamati penampilannya; tanktop biru dan hotpans denim super ketat. Lelaki mana yang tidak tergoda, apalagi dengan rambutnya yang tergerai berwarna coklat kemerahan, sangat sesuai menyandingi sorot matanya yang tajam.

“Wow Im Yoona. Ternyata tebakanku benar, kau lebih suka yang bersegel. Im Yoona termasuk barang baru, tapi menurutku sudah cukup berpengalaman menghadapi dunia malam karena wanita ini adalah penyanyi club.”

“Ya, aku tahu.”

“Kau tahu ? apa akau mengenalnya ?”

“Iya.”

“Wah kebetulan sekali, kau pasti sudah tidak sabar menikmatinya.”

“Aku tidak mau sekedar menikmatinya sebagai teman tidur.”

 “Kau mau melakukan apa huh ? menemanimu ke pesta ? katakanlah.”

 “Aku ingin membelinya.”

Aku tahu saat ini Yoona menatapku dengan mata berapi – api. Aku tidak perduli. Satu hal yang kuketahui dengan pasti bahwa aku harus membebaskannya dari tempat terkutuk ini dengan segala cara. “Wow, diluar dugaan !!! Kira – kira berapa harga yang pantas untuk kau berikan padaku ?”

 Aku menatap mafia itu nyalang, “Berapa pun yang kau minta.”

“Lee Donghae-ssi sebaiknya pikirkan ini baik – baik, Aku tahu harta peninggalan orang tuamu lebih  dari cukup—“

“Aku bekerja sebagai photographer professional sekaligus memegang kendali atas perusahaan agensi model. Tanpa mengandalkan harta peninggalan orang tuaku, Aku bisa dengan mudah menerima kucuran uang.”

“Kuakui keberanianmu anak muda. Aku sangat menyukai anak muda sepertimu jadi sebagai penghargaan atas keberanianmu aku  akan menawarkan harga diskon… 100 juta Won.”

“Baiklah, tidak masalah.”

Lelaki tua itu menyeringai, “Deal. Kalau begitu akan kukemasi barangnya untukmu, segera malam ini.”

…………

Hening mengisi suasana diantara kami. Aku masuk kedalam mobil, duduk didepan jok kemudi dan menatap kearah kaca spion. Yoona memilih duduk dibangku penumpang. Aku berdiam diri sejenak  tidak lantas memutar stir mobil yang tampak menunggu untuk disentuh.

Aku tahu melalui kaca spion yang memantul Yoona sempat melirik kearahku. Sesaat kemudian wanita itu mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Sudah cukup logikaku mencerna tidakan gila yang aku lakukan beberapa saat lalu. Membeli seorang wanita dari tangan mafia. Siapa pun tahu tindakan itu sangat tidak menusiawi dan melanggar hak asasi. Ditengah perenungan rumit aku mencari – cari sebuah kalimat penyesalan di dalam dadaku, sayangnya tidak ada. Parahnya sekarang ini aku merasa bahwa tindakanku jauh  lebih jahat dari para mafia bengis diluar sana.

Sekali lagi kupertegas, aku tidak akan menyesalinya seumur hidupku,  membeli wanita itu dari tangan mafia sebab tidak ada cara lain untuk membebaskannya.

Mengenyahkan segala pikiran yang mengganjal, aku berajak memutar kunci  mobil dan menginjak pedal gas.

“Apa maksudmu ?”

Gerakanku tertahan saat Yoona menginterupsi. Segera kubatalkan niatku untuk membalap mobil ini. Aku lebih dulu mematikan mesin mobil lantas mengkondisikan pendengaranku sebaik mungkin.

“Aku tidak memintamu melakukan ini padaku ?!” tiba – tiba aksi protes yang berupa penolakan itu melayang. Tatapan Yoona beralih membidik mataku tajam dari dalam kaca spion. Bukan lagi hal mengejutkan menurutku, sebab aku sudah bisa memperkirakannya.

“Diamlah.” Ujarku tidak ingin menanggapinya lebih jauh, “Sekarang aku adalah tuanmu. Kau adalah milikku dan tubuhmu tidak lebih dari kesepakatan jual beli antara aku dan mafia itu.”

“Mwo ?”

 Aku tidak perduli dia merasa terhina ataukah hendak melancarkan caci maki. Satu hal yang perlu kutegaskan disini  adalah dirinya yang secara resmi berstatus sebagai milikku. Hanya itu.

“Brengsek.” Umpatnya melengking ditelingaku. Sisi lain Im Yoona membuatku semakin tertarik padanya. Im Yoona yang sekarang menjelma menjadi wanita kasar, berbeda dari yang kubayangkan sebelumnya berdasarkan pengamatanku saat bertemu dengannya dulu. Tidak ada lagi Im Yoona dengan citra baik dan ramah, dia berubah semakin ganas, namun bukan berarti aku menyesal menjadikannya sebagai milikku.

“Sekarang diamlah. Aku akan membawamu ketempat aman.” Tandasku tidak perduli, berlagak seperti mengabaiklan umpatannya, aku memilih untuk melanjutkan hal – hal yang tertunda sejak tadi, yaitu menjalankan mesin mobilku dan segera melesat pergi dari lingkungan memuakkan ini, dimana lagi  kalau bukan club Tuan Ki.

………………

Mobil yang kukendarai akhirnya berhenti di lokasi  gedung parkir apartemen yang saat ini kutinggali. Dari kaca spion Kulihat Yoona bergeming ditempatnya. Tidak ada sedikit pun yang berubah dari wajah wanita itu, ketus dan dingin.

“Turunlah…” perintahku membuka pintu mobil untuknya. Yoona menatapku sebentar lantas membuang wajahnya sinis. Hembusan napasku terdengar ricuh. Berbicara panjang lebar adalah sesuatu yang paling malas kulakukan saat ini. Yoona mendiamkanku. Aku berbalik mendiamkannya namun begitu mataku berfokus memperhatikannya dengan seksama. Sesaat kemudian wanita itu menggerling tidak nyaman, tampak risih.

Yoona bersedia keluar melalui pintu mobil yang sengaja kubuka untuknya. Saat itu kemenanganku serasa terkepal didalam genggaman. Aku akhirnya berhasil memaksa wanita itu mengaku kalah.

“Kenapa kau melakukan ini hah ?!” cecar Yoona kemudian, bertepatan dengan tertutupnya pintu mobil yang sengaja kuhempaskan.

“Asal kau tahu, aku tidak butuh dikasihani ?!” gurat – gurat kekesalan kian mengerut diwajahnya. Tatapan Yoona menajam kearahku, setengah menantang. Terbaca dari wajahnya bahwa ia tidak membutuhkan bantuan dari siapa pun saat ini dan tampaknya ia akan merasa lebih baik jika aku meninggalkannya ditempat terkutuk itu. Sangat skeptis menurutku. Mimik wajah wanita itu menunjukkan hal – hal yang serasa menentangku bahwa lebih baik  ia sengsara di tempat terkutuk itu ketimbang berada disini bersamaku.

Kedua kakiku melangkah mendekatinya perlahan – lahan, membawa tubuh kami mundur selangkah demi selangkah dan berakhir ketika punggung wanita itu membentur badan mobil, “Aku tidak pernah mengasihanimu ! Sedetik pun !” kilahku tajam.

“Lalu ? apa semua ini…”

“Kau bertanya tentang semua ini ?” Aku berusaha menyunggingkan sebuah senyuman namun miris, yang kurasakan saat ini berbeda. Aku layaknya tengah menyeringai,  “aku mempunyai satu alasan…”

“Mwo ?”

Kedua tanganku menjulur bersanggah dipermukaan badan mobil sekaligus mengukung tubuhnya.

“Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, menghawatirkanmu dan ingin seterusnya memandangimu…”

Bibir merah Yoona tampak bergetar. Secara naluri aku membayangkannya dengan mudah, tentang seberapa manis bibir itu…

“Jangan bercanda !” desisnya seolah berancang – ancang.

“Aku tidak bercanda !”

Mata wanita itu membesar. Tidak kusangka – sangka ia berteriak dengan begitu lantangnya,“Kalau begitu jangan bodoh !!!”

Bughh…

Emosiku meluap tanpa sadar aku meninju kaca mobil disampingnya hingga retak. Yoona terpaku dengan wajah pucat pasi.

“Sudah puas dengan umpatanmu ?” Kuseka bulir – bulir keringat yang tiba – tiba berguguran membanjiri wajahnya. Yoona terdiam menatapku dengan iris yang menyala – nyala.

“Sekarang terserah, kau mau ikut denganku, atau memilih terlantar ditempat ini Nona Im Yoona.” Peringatku terakhir kali mengacak – ngacak rambutnya. Khusus detik ini sangat mengingnkan Yoona berubah menjadi sosok penurut seperti halnya Miko, anjing peliharaanku dulu.

Belum ada jawaban berarti yang terlontar dari mulut yoona. Aku memutuskan untuk bebalik meninggalkannya dan berjalan menuju lift yang akan membawaku kelantai atas. Rupanya Lift tersebut masih berada dilantai sepuluh, aku menanti dengan sabar. Bersamaan dengan itu, perdengaranku menangkap bunyi tepakan langkah seseorang mendekat kearah tempatku berdiri.

Seorang wanita muncul disampingku. Ia berdiri dengan wajah menunduk. Helaian merah kecoklatan yang tergerai panjang seolah dibiarkan berjatuhan menutupi sebagian wajahnya. Aku tahu Yoona tidak berani menatapku saat ini dan aku memiliki pemikiran sama untuk tidak menatapnya. Perasaan kesal yang meledak – ledak didalam dadaku masih meninggalkan sensasi meluap – luap. Aku belum ingin berbicara apapun saat ini.

Entah dari mana emosi yang tidak jelas itu berasal, bagaimana mungkin aku hilang kendali ? Satu hal yang kuingat saat itu adalah dorongan perasaan bahwa aku benar benar marah. Aku tidak suka Yoona mengataiku bodoh, brengsek atau segala macam umpatan lainnya. Bukan kalimat seperti itu yang kuinginkan setelah perjuanganku yang berupaya menyelamatkannya dari mafia bengis. Aku tidak ingin menerima pujian apa pun darinya. Cukup satu,  Ia  hanya perlu tersenyum untukku meski pun itu senyum terpaksa atau bahkan berpura – pura. Aku ingin Yoona tersenyum utukku seperti saat pertama kali bertemu dengannya.

Sejauh ini Yoona membuntutiku hingga tiba didepan pintu partemen yang akan kumasuki sebentar lagi. Aku cukup bersyukur bahwa Yoona realistis dengan tidak mengikuti idelismenya yang terlalu sempit. Jika dilihat – lihat wanita itu sedikit munafik. Andai saja Yoona benar – benar memliki prinsip dan harga diri maka pastilah wanita itu akan rela mempertaruhkan dirinya untuk kembali ketempat semula yang dianggapnya lebih baik yaitu club Tuan Ki. Beberapa saat lalu aku sudah memberinya kesempatan untuk kabur namun apa yang terjadi, pada kenyataanya wanita itu memilih membuntutiku untuk  mencari perlindungan .

Aku tidak perduli fakta bahwa Yoona melakukannya dengan terpaksa, karena itulah yang kuinginkan melihatnya terdesak dan tidak punya pihan selain memilihku.

“Di apartemen ini terdapat dua kamar. Aku akan tidur di kamar depan dan kau tidurlah di kamar satunya. Jika ingin membicarakan sesuatu, lebih baik tunggu sampai besok.”  Jelasku bersandar dipermukaan tembok selagi menelisik penampilannya dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Yoona ikut memperhatikan tatapanku namun begitu ia tidak kunjung berkata apa apa.

“Obati dulu tanganmu.” Ucapnya setengah memohon. Aku mengernyit bingung mencerna maksudnya.  Sorot mata Yoona tertuju kearah tangan kananku, seketika aku sadar bahwa kini tanganku memerah nyaris diselimuti warna kebiruan. Mungkin kelihatannya aku cenderung salah mengartikan bagaimana cara Yoona memandangku, wanita itu tampak hawatir.

“Tidak apa – apa, aku akan mengobatinya sendiri.”  Aku mencoba menggerak – gerakkan jemariku, rupanya rasa sakit yang sangat menusuk menyerangku telak hingga ringisan pedih itu tak bisa kutahan dari bibirku.

“Jangan seperti ini !”

Aku menatapnya sekali lagi, bingung mengartikan intonasinya yang meninggi dua kali lipat dibanding sebelumnya.

“Aku belum bisa tenang sebelum aku melihatnya sendiri.”

Semakin tidak mengerti, alisku terangkat naik, semakin lama terbawa oleh kalimatnya yang semakin tidak bisa kuartikan.

“Kumohon jangan salah sangka, aku hanya tidak suka melihat orang lain terluka, apalagi terluka karenaku.”

Yoona menunduk seolah menyesali sesuatu entah apa. Diam – diam aku berusaha menerka – nerka pikirannya.

“Baiklah, akan kuobati saat ini juga.” Putusku membuat Yoona mendongak. Matanya yang sejak tadinya berkabut kini menjernih perlahan – lahan.

Jika saja mendapatkan luka seperti ini ampuh menarik perhatiannya, aku bersedia mendapatkan luka setiap hari. Duduk berdua di sofa, Yoona mengompres tanganku dengan es batu. Mengoleskan salep bahkan membalutnya dengan perban elastis. Aku terus menatapnya yang tengah berkutat dengan kegiatannya mengobati memar yang serasa berdenyut – denyut. Dia tampak serius, arah pandangannya yang tidak bergeser sedikipun membuatnya semakin menarik dimataku. Disamping mengaguminya aku ikut pula bertanya – tanya dalam hati mengenai apa yang sebenarnya terjadi, kenapa sikap wanita itu tiba – tiba berubah ?

“Selesai.” Ucapnya tersenyum bangga, entah sadar atau tidak.

Detik ini tidak ada sesuatu yang bisa kukatakan untuk menanggapi senyumannya. Aku terdiam dan masih menatapnya. Seolah menyadari sesuatu, Yoona menunduk.

“Maaf, sikapku keterlaluan…”

 “Sebenarnya aku…” bibir Yoona bergetar membuatku semakin memperhatikannya.

“Aku tidak bermaksud membuatmu kecewa atau marah. Sebenarnya aku bingung menentukan reaksiku atas kejadian ini…” kali ini ia menatapku dengan sorot yang menusuk dan membuatku seperti merasakan silau.

“Aku takut mafia itu akan melakukan hal buruk terhadapku dan melimbakanmu dalam kasus ini. Padahal kau tidak ada hubungannya. Aku merasa mereka tidak akan berhenti mengejarku mengingat statusku yang berada disana untuk menebus hutang. Ya, hutang – hutang ibuku membuatku harus dijual kepada mereka…. Dan aku benar benar trauma akan hal itu… kenapa… aku tidak ingin hidup seperti ini, dijual dan dibeli seolah diriku adalah barang dagangan.”

Barang dagangan ? terdengar sangat miris… mungkin aku termasuk salah satu yang memperlakukannya seperti itu, terlepas dari niatku yang ingin memilikinya disampingku, Yoona tidak lain adalah barang yang kubeli dari tangan mafia  dan tetap saja tindakanku ini tidak akan bisa dibenarkan. Aku hanya berharap Yoona tidak akan mempermasalahkan ini lebih lama. Aku ingin Yoona segera menata hidupnya dari titik awal, bukan lagi sebagai anak perempuan yang dijual oleh ibunya atau seorang perempuan yang berkeliaran ditengah malam untuk membanting tulang…

“Tenanglah masalah Tuan Ki, dia tidak akan macam – macam padaku. Aku mengenalnya. Dia adalah sahabat almarhum ayahku. Aku bisa jamin tidak akan terjadi sesuatu.” Kata – kata itu meluncur begitu saja dengan penuh keyakinan dari mulutku. Aku mengetahui beberapa rahasia mafia itu dan aku yakin ia tidak akan berani macam – macam.

“Sekali lagi, maaf…”

Yoona mulai terisak didepanku. Aku tidak tahu bagamana cara membuat seorang wanita berhenti menangis, lalu aku memilih mendiamkannya. Tiba – tiba tatapannya mengawang kearah tanganku yang berbalut perban.

“Dulu ibuku selalu memukuliku setiap kali ia terlibat masalah serius. Akulah satu – satunya yang sering ia jadikan sebagai objek pelampiasan… kerap kali tubuhku berlangganan luka memar. Kau tahu, luka memar yang kau dapatkan ini mengingatkanku pada ibuku dan rasanya pasti sakit. Apakah benar begitu ?”

“Mungkin benar… tapi setelah diobati, aku merasa lebih baik.” Jawabku jujur. Keadaanku sekarang jauh lebih baik terlebih dengan situasi diantara kami yang mulai kondusif, membuatku jauh lebih tenang.

“Eumm bolehkan aku berbicara sesuatu ?” sekian lama terdiam, Yoona lekas berbicara. Kutatap wanita itu dengan rasa penasaran tinggi, “Katakan saja.”

“Masalah uang yang sudah kau bayarkan kepada mafia itu…”

Semakin penasaran, tatapanku semakin lekat.

“Aku ingin menebusnya… tapi berhubung aku tidak punya uang, aku ingin menawarkan diri bekerja untukmu. Aku bisa melakukan apapun mulai dari bersih – bersih, memasak, mencuci, kau tidak perlu lagi menyewa pembantu. Aku bisa melakukannya untukmu tanpa digaji secara langsung  maksudku… anggap saja gajiku terpotong sedikit demi sedikit untuk menebus uangmu yang kau bayarkan untuk membeliku dari mafia itu. Aku akan menghitungnya sedikit demi sedikit hingga 100 juta Won atau setara dengan jumlah yang kau bayarkan. Bahkan jika aku harus bekerja seumur hidupku untuk memenuhi nilai 100 juta Won, aku bersedia melakukannya.”

“Baiklah kalau itu maumu… “ Aku tersenyum merasa tidak ada lagi pasokan tenaga untuk menjawabnya lebih lanjut, “Lakukan apa saja yang menurut berguna, sekarang tidurlah.”

Aku bangkit dari sofa dan lebih dulu membangun kontak mata sebelum kami berpisah, “Selamat malam.”

……..

‘Kriiing’

Jam weker berbunyi, lantas kumatikan. Rasanya tidak berguna, bahkan beberapa jam sebelum  benda itu berbunyi aku lebih dulu terjaga.  Semalaman aku tertidur, sayangnya waktu dimana aku seharusnya terlelap dan menghilang sejenak dari rutinitas nyata justru berujung kacau,  sebabnya karena insomnia mendadak. Beberapa kali aku terbangun entah karena apa. Lalu dampak dari gangguan itu  baru saja menyerangku detik ini. Kepalaku rasanya berat sekali. Setiap terbagun ditengah malam, aku hanya menyandarkan tubuhku dipunggung ranjang, semalaman pula aku merenung dan mencoba memejamkan mata namun rasanya sulit.

Berada didalam kamar seorang diri tanpa melakukan apa pun rasanya begitu hambar. aku memutuskan untuk beranjak. Terbersit sebuah pemikiran bahwa bersenang – senang diluar apartemen sepertinya tidak buruk. Lagi pula aku harus segera membebaskan kepalaku dari rasa pening yang menyiksa ini.

Aku melangkah keluar kamar. Bunyi gemerutuk dari arah dapur menarik perhatianku. Secepatnya aku melangkah kesana. Kutemukan sebuah pemandangan baru. Wanita itu mondar mandir mengelilingi dapur. Ia membuka satu persatu lemari serta kulkas pada kitchen set didapur namun sudah kuduga ia bisa tidak menemukan apa – apa disana.

“Apa yang kau cari ?” tanyaku dari belakang. Ia tampak terkejut menyadari kehadiranku.

“Itu… aku ingin memasak sesuatu tapi aku tidak bisa menemukan apapun disini.” Jawabnya sambil menunduk.

“Kau suka teh atau kopi… atau susu ?” tanyanya kemudian. Entah bagaimana aku menikmati kegugupan diwajahnya.

“Tidak ketiganya.”

“Air putih ?”

“Bukan… Ya, terkadang aku meminumnya.” Jawabku. Yoona mengangguk, “Kalau begitu biar kuambilkan.”

“Tidak usah.”  Cegahku membuatnya membatalkan niat itu.

“Aku lapar.”

Bibir wanita itu bergerak ragu sebelum akhirnya berkata, “Tapi didapur ini tidak ada stok bahan makanan bahkan ramen…”

“Iya benar, biasanya aku lebih sering makan di luar atau delivery order.”

“Tapi bukankah lebih baik memasak  sendiri ?”

“Yoona-ssi, begini…” Kutarik napas panjang,  “Aku malas dan tidak bisa  melakukannya. Tapi jika kau berencana memasak untukku, kita bisa membeli bahan – bahannya nanti.”

Yoona terdiam menimbang – nimbang sesuatu sebelum aku bergegas menyadarkannya.

“Sekarang temani aku sarapan di luar.”  Ucapku meraih tangannya.

“Tunggu…”

Gerakanku tertahan oleh tubuh Yoona yang membatu. Aku menatapnya terheran – heran.

Yoona menggigit bibir bawahnya, bimbang. Wajah wanita itu kembali tertekuk, bukan karena malu atau ragu – ragu tapi tampaknya ia terganggu oleh persoalan yang lebih serius. Yoona seolah mengamati penampilannya sendiri. Sekejap tubuhku terpatung menyadari sesuatu. Hingga detik ini Yoona masih mengenakan pakaiannya seperti semalam. Pakaian yang sungguh tidak layak dimata masyarakat umum. Tanktop biru dan hotpans denim super ketat.

Napasku berhembus panjang, merasa bodoh membiarkan Yoona merasa tidak nyaman sampai sejauh ini. Semestinya aku lebih sigap menanggulangi hal tersebut sejak awal…

“Haruskah aku berkeliaran diluar dengan pakaian ini ?” ia menatap ragu – ragu.

Kuamati penampilan Yoona seraya memikirkan pakaian model apa yang sebaiknya kuberikan padanya. Aku tidak punya pakaian wanita dirumah ini, kacuali model – model yang terbilang universal seperti  baju kaos dan celana trening. Tepat sekali, pakaian – pakaian itu pasti akan pas ditubuhnya. Lagi pula tubuh wanita itu terbilang tinggi, kira – kira tiga atau lima senti meter dibawahku. Menurutku akan lebih mudah menyesuaikan pakaian yang kupunya untuknya.

………..

Akhirnya aku menemukan pakaian yang pas untuk Yoona pagi ini. Kaos lengan panjang berwana hijau toska dan celana trening hitam yang  biasanya kugunakan untuk jogging atau sekedar jalan – jalan sore. Ketika sampai didepan pintu apartemenku Yoona sempat berhenti melangkah. Aku menatapnya yang lebih dulu menatapku sambil menunjukkan isyarat, apakah penampilanku wajar ?

Aku mengangguk meyakinkannya. Wanita itu tersenyum seolah mengesankan bahwa pikiran aneh yang menggangunya telah kandas. Kira – kira beberapa detik setelahnya aku masih terpaku memandangi senyum itu hingga tiba – tiba seorang menepuk pundakku dari belakang.

“Hai Donghae !” suara itu mampu kuidentifikasi dengan mudah, siapa lagi kalau bukan Lee Hyukjae, penghuni kamar apartemen disamping  apartemen yang kutinggali.

Pandangan Lee Hyukjae berbelok kearah Yoona. Tatapannya meneliti dari atas kebawah seolah mempertihungkan segala yang menarik dari tubuh perempuan itu. Sungguh aku membenci bagaimana Hyukjae menatap Yoona saat ini. Tatapannya tidak lain seperti ‘singa kelaparan.’

“Bukankah dia…” Hyukjae menyipit, tampaknya ia mulai menyadari sesuatu.

“Im Yoona.” Tebaknya, “Ya aku yakin dia Im Yoona, penyanyi club itu kan ?”

Yoona tampak kebingungan menghadapi pertanyaan  Hyukjae yang entah ditujukkan kepadanya ataukah pertanyaan untuk berbalik menudingnya dengan sensimen negatif.

“Benar, dia Im Yoona, memangnya kenapa ?”

Hyukjae tertawa lalu menepuk pundakku cukup keras namun aku memilih untuk tidak menunjukkan reaksi apapun saat ini.

“Kau.. sudah dewasa rupanya, Donghae-ya. Ngomong – ngomong ini wanita keberapa yang kau tiduri ? apakah dia wanita pertama yang sukses menggodamu ? Wah sepertinya kau begitu menikmati kedewasaanmu—“

Bughh…

Aliran darah didalam tubuhku memanas tiba – tiba. Langsung saja kutinju wajahnya dan membuat si brengsek itu berhenti mengutarakan omong kosongnya.

Yoona memekik tertahan. Ia mencoba melerai pukulanku yang hendak melayang kewajah Hyukjae. Aku menggeram penuh emosi sekaligus puas ketika menyaksikan si brengsek itu  jatuh tersungkur dan meringis kesakitan. Setidaknya Hyukjae beruntung  karena ia hanya sebatas menerima hantaman dari tangan kiriku, kalau saja tangan kananku tidak sedang diperban, maka akan kupastikan sibrengsek itu babak belur.

“Bitch—“

“Yak !!!”

“Hentikan !!” cegah Yoona memelukku dari belakang ketika amarahku meluap luap ketingkat paling tinggi. Entah sihir apa yang menyertai pelukan itu sehingga meredam aliran darahku yang tadinya mendidih berangsur menghangat lalu beku dibawah sentuhannya.

“Hentikan kumohon.” Lirih Yoona. Suaranya bergetar pilu dipermukaan punggungku. Kuhela napas panjang hendak membuang sisa – sisa amarah yang nyaris mengepul. Yoona melepaskan pelukannya lalu menatapku  tidak percaya.

“Kau… selalu saja meninju orang sembarangan.” tudingnya dengan mata berkaca – kaca.

“Tapi dia sudah berbicara seenaknya !” sanggahku tidak terima, Yoona bergeleng, “Tidak semua masalah harus diselesaikan dengan kekerasan, Donghae-ssi.”

“Aku tahu ! dan ini bukan termasuk kekerasan. Dia pantas mendapatkannya.” Tandasku meraih tangan Yoona dan menariknya menjauh dari sana. Tidak kuperdulikan Hyukjae yang menatapku penuh dendam saat ini. Pikiranku hanya berfokus memikirkan bagaimana meredakan kekecewaan Yoona dan segala prasangkanya yang sangat melenceng dari fakta sebenarnya. Aku tidak suka jika seseorang yang menurutku berharga menerima penghinaan yang tidak pantas dari orang lain. Emosiku kerap kali meluap detik itu juga dan perlu diingat bahwa hal tersebut tidak hanya berlaku untuk Yoona tapi ibuku bahkan teman – temanku. Khusus untuk Yoona, terlalu banyak pihak yang menghinanya hingga membuatku semakin tidak terima. Aku meyakini sepenuhnya Yoona bukanlah sosok wanita malam seperti yang dituduhkan si brengsek Hyukjae. Bagaimanapun tudingannya itu sangat lancang dan melecehkan.

“Seharusnya kau minta maaf padanya dan bukan malah pergi begitu saja.” Protes Yoona ketika kami sudah berada didalam mobil. Baru saja aku hendak menginjak pedal gas dan melesat pergi, Yoona lebih dulu mengurungkan niat itu.

“Apa katamu ?” Kupalingkan wajahku kesamping. Hanya dua patah kata sederhana yang terpikirkan olehku untuk mewakili ketidak mengertianku membaca jalan pikiran Yoona.

Wanita itu menatapku lurus – lurus, “Menurutku tidak ada yang salah dari perkataanya.”

“Mwo ?” rasanya kernyitan dikeningku semakin lekat mencerna maksud Yoona.

“Coba pikirkan ini; Pada suatu pagi, seorang wanita asing keluar dari apartemen seorang pria. Ditambah sang wanita adalah sesorang yang kerapkali berlalu lalang di club. Jadi, menurutmu apa yang salah dari tuduhan orang itu ?”

“Jelas salah Yoona, dia menghinamu.”

“Aku tidak merasa terhina.” Cetusnya. Lagi – lagi aku tercengang.

“Aku pantas menerimanya, itu sudah resiko.” Sekilas kutemukan lengkungan tipis dibibir Yoona mencuat bersama tatapannya yang menerawang, “Aku tidak memaksamu, tapi kusarankan kau meminta maaf dan lain kali jangan melakukan hal seperti itu, lagi.”

Sesuatu didalam dadaku bagaikan teriris – iris menyimak pekataannya. Aku tersenyum sangat miris.

“Menurutmu, jika seandainya  angka satu sampai sepuluh mewakili harga dirimu, dimana sepantasnya angka yang mewakili penghargaan atas dirimu sendiri ?”

“Tiga. Mungkin hanya ada tiga hal.” Jawab Yoona, jauh dari perkiraanku sebelumnya bahwa wanita itu akan kebingungan menentukan angka. Pasalnya aku sempat menangkap adanya keterkejutan diwajah Yoona usai pertanyaan itu mengudara.

 Namun rupanya dugaanku meleset jauh. Wanita itu menjawabnya dengan yakin.

“Angka satu untuk rasa syukurku karena dilahirkan kedunia ini dan menyadari bahwa rupanya ada sebuah alam yang menyimpan banyak tipu – tipu dan sandiriwara bodoh.”

Wanita itu terkekeh pelan, namun tidak denganku yang kebingungan mencerna maksud dari kalimatnya, kupikir dia gila, atau justru dirikulah yang gila.

“Kedua, aku menghargai diriku sendiri untuk mereka, orang  orang yang telah membesarkanku, entah karena terpaksa atau punya maksud lain. Bahkan seseorang yang mengaku ibuku memanfaatkanku untuk melunasi hutang – hutanya. Kadang aku bertanya, apakah aku dibesarkan hanya untuk menjadi mesin pencetak uang dan lalu mengabdi pada orang – orang yang sudah membesarkanku ? miris…”

“Yoona—“

“Ketiga.” Lanjutnya. Aku bergeleng ingin menghentikannya yang seolah meracau namun sayangnya aku tidak bisa memikirkan apapun saat ini.

“Untuk seseorang yang masih menganggapku menarik dimata mereka. Entah itu tubuhku atau apapun, setidaknya aku masih dianggap sebagai wanita. Wanita yang diciptakan untuk memuaskan hasrat mereka.”

“Cukup !!!”

“Kenapa ? ada yang salah ?”

“Banyak.” Lanjutku menatapnya.

Aku terdiam sejenak, meredam rasa pening dikepalaku yang semakin menjadi – jadi memikirkan tingkahnya itu.

“Tidak bisakah kau melepaskan diri dari masa lalumu dan  ‘hanya’ memikirkan masa depanmu?”

“Masa depan ?” ia terkekeh, “Apakah masa depan masih berpihak padaku ? Aku sudah terlalu banyak dibohongi oleh orang – orang disekitarku. Kau tahu bahkan ibuku, ayahku, mereka berdua ikut membohongiku. Ayahku pergi meninggalkanku demi wanita lain, padahal sebelumnya ayahku mengaku bahwa  dia pergi untuk kepentingan pekerjaan.”

“Dan juga pamanku yang kuanggap seperti ayah sendiri, dia sangat baik tapi… setelah aku mengetahui motif sebenarnya… ternyata dia bejat.”

 “Yoona, masa depanmu tidak ada hubungannya dengan masa lalumu.” Kutatap dia setenang mungkin.

“Oh.. itu menurutmu. Sepanjang perjalananku, aku sudah banyak bertemu dengan orang – orang layaknya  pembohong besar dari masa laluku. Mungkin hidupku sudah dikutuk atau apa.”

Aku terkekeh mendengar terkaan Yoona yang agaknya tidak masuk akal.

“Kutukan ? bukankah terdengar lucu ? itu hanya anggapanmu, kau terlalu menyamakan semua orang. Ketika kau menghadapi masalah, kau cenderung menyalahkan orang lain yang kau anggap pembohong. Padahal masalahnya ada didalam dirimu sendiri.”

“Maksudmu ?”

“Kau harus memperbaiki anggapanmu dan mengubah sikapmu, agar semuanya terlihat lebih baik..”

“Tahu apa kau soal sikapku ?”

“Kupikir kau terlalu skeptis, nona.” Simpulku menegaskan padanya, “Kau menganggap bahwa dirimu sekuat baja yang bisa menghadapi dunia ini sendirian, padahal kenyataannya kau hanyalah seorang wanita rapuh. Kau menganggap semua orang adalah pembohong bahkan orang – orang yang ingin membantumu dengan tulus. Kau meremehkan mereka dan memilih pergi dengan kebencianmu.”

“Ya ! katakan sesukamu ?! Aku tidak tahu dari mana kau tahu semua tentangku ?! aku pernah mencaci maki teman – temanku hanya karena mereka bersikap sok kasihan, mereka menawarkan segala bantuan sampah dengan dalih agar hidupku lebih baik. Lalu kau tahu ? Kubilang pada orang – orang itu bahwa aku tidak butuh dikasihani ?! mereka semua tidak benar – benar mengasihaniku ?! mereka semua memang pembohong !! bahkan orang – orang terdekatku membohongiku ?! lalu bagaimana dengan mereka ?!

“Itulah yang kukatakan ‘kau belum sepenuhnya lepas dari masa lalumu.’ Jadi mulai sekarang tidak bisakah kau hanya fokus pada dirimu sendiri ? kau harus bahagia Yoona.”

“Bagaimana aku bisa bahagia kalau sekarang aku udah hancur ?”

Aku bergeleng menolak anggapannya, “Kau sempurna Yoona, menurutku kau benar – benar sempurna.”

Aku hanya terdiam memandanginya ketika wajah wanita itu menampilkan ekspresi ketidakpercayaan.

“Dimataku kau tidak mempunyai kekurangan, dan itu berarti kesempatanmu terbuka lebar untuk memanfaatkan apa yang kau punya.”

Kubiarkan ucapkanku berlalu, dan segera menambahinya sesaat kemudian, “Pikirkan lagi, paling tidak Tuhan masih melindungimu sampai sejauh ini. Sekarang, tinggal bagaimana caramu menata kehidupanmu.”

Air mata wanita itu jatuh setetes- demi setetes namun disekanya buru – buru, “Kau.. berkata seperti itu seolah tahu segalanya…”

“Aku memang tidak terlalu mengenal segalanya tapi setidaknya itulah yang kualami selama ini.”

Lantas kuceriakan semua detik itu dihadapan Yoona bagaimana kehidupanku dimasa lalu yang sangat menggenaskan. Aku terlahir dari keluarga melarat kemudian ayahku terlibat bisnis dengan seorang mafia, tidak lama setelah itu ayahku tewas tertembak dalam operasi penangkapan Polisi. Ibuku hancur dan memilih bunuh diri sedangkan aku, aku dirawat oleh paman Han, sahabat ibuku yang berbaik hati mengulurkan tangannya untuk merawatku hingga dewasa, ketika tak ada satu pun keluargaku yang perduli sebab ayahku yang disebut – sebut oleh mereka sebagai penjahat Negara. Paman Han adalah orang yang kuanggap sebagai pahlawanku hingga aku mengetahui bahwa Paman Han sangat mencintai Ibuku. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah mecintai wanita lain selain ibuku. Aku tidak marah padanya karena meyimpan rasa sedalam itu meski pun kupikir dia sangat bodoh.  Lebih bodohnya Paman Han mengaku bahwa aku adalah… anak kandungnya. Aku tidak tahu bagaimana persisnya tapi Paman Han mempelihatkan padaku soal tes DNA…. Kupikir aku akan mati saat itu dan entahlah, mungkin aku adalah hasil dari masa lalu ibuku yang kelam.

Benar – benar pembohongan yang kejam, bukan ?

“Aku tidak ingin membenci siapa pun, aku memilih memafkannya. Rasanya perih. Sekarang aku tahu, kenapa sebelum bunuh diri ibuku meninggalkan sepucuk surat wasiat. Ibu ingin Tuan Han menjagaku dan Tuan Han menyerahkan beberapa harta peninggalannya sebagai permintaan maaf. Jadi karena itu ? Setelah memilih tinggal sendiri, Tuan Han menjalani hidupnya sebagai pastor di gereja dan mewariskan seluruh hartanya padaku. Kadang aku bertanya ‘ apakah semua hal diduia ini bisa diselesaikan dengan materi ?”

Bodoh. Aku tidak tahu dari mana asal keberanian yang kupunya sehingga dalam durasi beberapa menit, lidahku diberkahi kekuatan untuk meceritakan masa – masa kelam itu dengan mudah, bahkan dihadapan orang asing yang sialnya mengalami nasib serupa denganku. Dikucilkan, dibuang dan dibohongi oleh orang terdekat mereka.

“Mengerikan. Nyatanya segala yang terjadi ditentukan oleh bagaimana uang bekerja. Bahkan untuk membebaskanmu, aku harus mengorbankan materi bukan ?” Aku berdecih merasa miris dengan hidupku sendiri dan secara otomatis aku menyandingkannya dengan kasus yang dialami wanita itu.

 “Ibumu menjualmu karena uang. Banyak sekali pasangan diluar sana yang berpisah karena masalah ekonomi. Uang bisa mendatangkan penghormatan. Aku bekerja keras memotret sana sini dengan kameraku, semua itu demi uang.”

Aku menatapnya beberapa detik, tanpa sadar bibirku menyunggigkan seulas senyuman yang kurasa begitu miris, “Kalau begitu tidak bisakah kau berfokus mencari uang, dari pada menyesali hidupmu. Mungkin dengan uang, kau bisa menemukan kebahagiaan ?”

Tidak kusangka – sangka perempuan itu menangis lagi, entah karena apa. Namun kali ini ia berusaha menyembunyikan wajahnya dan berpaling kearah jendela.

“Secara alamiah manusia berkeinginan membahagiakan manusia lainnnya. Mungkin kau belum pernah menemukan arti dari kebahagiaan yang sesuagguhnya kumaksud, tapi kuharap kau akan merasakannya segera.  Aku yakin didalam hatimu, kau ingin membahagiakan ibumu yang entah dimana, iya kan ? itulah yang disebut sebagai… perasaan alami.”

“Cihhh…”

Bunyi decihan yang menyela bernadakan seolah wanita itu sudah muak. Aku menatapnya kesal namun kuakui pikiranku buntu untuk menjelaskan sesuatu kepadanya sebab firasatku mengatakan bahwa apa pun yang kukatakan setelah ini hanya berujung sia – sia seperti sebelumnya.

“Sudahlah hentikan omong kosongmu. Berhenti bersikap bodoh. Lebih baik pikirkan dirimu sendiri.”

“Yoona—”

“Oh ya kusarankan padamu, jangan terlalu baik ditengah dunia yang kejam ini, Tuan tampan.”

~Slirp~ bau menyengat dari sapu tangan yang dibekapkan Yoona kedalam penciumanku seketika menyebabkan pandanganku berguncangan, fokusku berangsur – angsur mengabur. Dan… Setelah itu kepalaku terasa berputar, kesadaranku berguling jatuh lalu segalanya meredup tanpa sisa.

………….

“Lebih cepat dari rencana.”

Suara seorang wanita menyambut kesadaranku yang berangsur – angsur kembali. Kutatap ruangan disekelilingku, ruangan yang tampak asing. Tubuhku terbaring diatas ranjang. Aku mencoba menggerakkan kedua tanganku yang menjulur dan terangkat dimasing – masing sisi wajah keatas, yang rupanya ada sengenggam tali yang mengikat kedua lenganku. Kusadari bahwa posisiku saat ini layaknya terpasung. Aku belum sepenuhnya mencerna bagaimana kejadian terakhir yang menimpaku sehingga aku berada ditempat ini. Ruangan tempatku berada lebih mirip sebuah kamar tempat penginapan sejenis motel.

Wajah seorang wanita yang perlahan duduk disampingku mengingatkanku tentang segalanya. Wanita itu mengenakan lingerie merah dan lipstick senada yang begitu mencolok, rambutnya yang kecoklatan sengaja digerai acak – acakan. Kuingat namanya, ya aku mengingatnya dengan jelas. Im Yoona. Aku duduk berdua dengan perempuan itu dimobil tepat sebelum aku kehilangan kesadaran. Aku menyusuri lebih dalam kronologis kejadiannya dan sekarang aku mengerti. Im Yoona membekapkan sebuah sapu tangan kewajahku dan seketika bau menyengat membuatku pusing dan  tidak ada lagi yang bisa kuingat setelah itu.

Kini Yoona muncul dengan penampilan berbeda.

“Seharusnya aku menjalani fase pendekatan lebih dulu, tapi sudahlah, kau membuatku muak, bisa – bisa aku berubah menjadi seorang wanita cengeng jika terlalu lama didekatmu, jadi kupikir lebih cepat lebih baik.” Sekujur tubuhku lantas bereaksi merasakan usapan tangan Yoona diatas dadaku yang telanjang. Aku menatap tubuhku sendiri yang tidak memakai sehelai benangpun, meskipun kini bagian pusar kebawah ditutupi oleh selimut, kuyakini bahwa seluruh pakaianku telah tanggal entah kemana.

“Apa maksudmu melakukan ini ?” Aku menatapnya serius. Dia tertawa menanggapinya lalu tersenyum menyeringai, “Ibuku kembali membuat ulah, dan aku harus melunasi hutang – hutangnya, lagi.”

Sudah kuduga. Dia pasti mengejar uang sebagai tujuannya. Aku tidak mengerti betapa peliknya hidup Yoona namun yang kusadari justru dialah yang membuatnya semakin rumit.

Yoona berbaring menaruh kepalanya diatas lengan kiriku, jemari lentiknya menggiring wajahku kesamping menatapnya.

Kupejamkan mataku sejenak menahan sesuatu yang bergejolak terlebih ketika menatap matanya.

“Berapa banyak ? kau bisa bicara padaku ?” entah bagaimana suaraku terdengar datar namun tidak dengan tubuhku yang memanas, “Berapa yang kau butuhkan ? Aku bisa membantumu membebaskannya, kau tidak perlu melakukan cara picik seperti ini.”

Yoona tertawa, tiba – tiba mengecup bibirku.

“Tidak perlu tuan, aku hanya akan melakukannya dengan caraku.” Yoona mengarahkan kecupannya disekujur leherku. Aku tidak bisa megingkarinya bahwa perbuatan itu membuat dadaku naik  turun. Aku harus mengatakan sesuatu padanya, sebisa mungkin aku meredam gejolak disekujur tubuhku yang nyaris hilang kendali.

“Sudah kukatakan, hentikan sikapmu yang terlalu berburuk sangka, Nona, itu hanya akan menyakitimu.  Eughhhh…”

Yoona naik keatas tubuhku dan mulai membabi buta mengarahkan kecupannya, perempuan itu melumat bibirku dengan penuh tekanan mendorongku akhirnya membalas ciuman itu.

“Dan kau, berhenti bicara.” Bisiknya ditelingaku, sekelumit desahannya membuat darahku mengalir deras. Yoona lantas menggenggam kedua tanganku yang terikat, “Aku akan melepaskannya nanti, setelah aku memastikan bahwa kau benar – benar masuk dalam perangkapku.

“Katakan, siapa dibalik ini semua ?!” tuntutku meminta penjelasan. Sejak pertama kali melihanya aku yakin Yoona tidak memiliki niat sedikitpun menjadi perempuan penggoda seperti ini.

“Haruskah aku mengatakannya ? itu rahasia tuan.” Yoona menjilati dadaku, tanpa sadar aku mendesah.

 “Tapi karena kau tampan, aku akan memberitahumu sedikit clue. Dia, wanita kaya yang meminjamkan uang pada ibuku dan aku harus melunasinya lagi. Dia adalah seorang wanita mandul yang menginginkan anak darimu, dia pasti sangat terobsesi padamu.”

Yoona mengelus dadaku dan seluruh tubuhku, membuatku tidak mampu berkata – apa – apa kecuali menyuarakan erangan tertahan bahwa aku menginginkannya lebih.

“Kau yang mengatakannya sendiri bukan, membahagiakan seseorang adalah perasaan alami manusia. Aku sedang dalam proses membahagiakan ibuku, agar dia puas. Jika ibuku terbebas dari hutang maka ia akan bahagia. Jadi tindakanku ini tidak salah kan ?”

Dan aku meleguh panjang ketika remasan kuat dibawah sana membuatku mengejang dan menanggalkan seluruh akal sehatku.

“Aku membutuhkan benihmu, sayang…” bisiknya terakhir kali sebelum akal sehatku benar – benar lumpuh.

………..

Seorang wanita mengenakan handuk kimono baru saja keluar dari sebuah kamar. Tanpa memperdulikan pandangan beberapa orang yang menatap penampilannya saat ini wanita itu terus berjalan. Bukan berarti wanita itu  tidak mengetahui bagaimana rupa penampilannya, ia sempat menengoknya sekilas dicermin; rambut acak – acakan, lipstick berhamburan dan bekas kiss mark dilehernya namun ia tidak perduli. Satu hal yang terpenting kali ini adalah misinya terselesaikan dengan sukses.

Perlahan ia menyambangi sebuah kamar. Sang pemilik kamar itu lantas menyambutnya dengan senyum hangat. Senyuman yang berarti kemenangan. So Eun Soo.

“Kemarilah Im Yoona-ssi.” Ucapnya. Wanita bernama Yoona itu menarik napas panjang, tidak kuasa menatap keadaan ibunya yang tergeletak disudut kamar dengan kedua lengannya diikat dan tali sementara bibirnya ditutupi oleh plester hitam.

Eunsoo duduk bersilang diatas ranjangnya sementara Yoona berdiri kaku dihadapan wanita itu.

“Bagaimana keadaannya ? kau tidak menyakitinya bukan ?”

Yoona mengingat lagi bagaimana keadaan Donghae terakhir kali sebelum ia meninggalkannya, Yoona mencium lelaki itu hingga ia terbuai, siapa sangka Yoona membiusnya sekali lagi hingga tidak sadarkan diri.

“Tenanglah, dia tertidur mungkin untuk dua jam kedepan.”

Eunsoo mengangguk paham, “Hmm obas bius yang kuberikan sangat manjur bukan ?” wanita itu memasang wajah bangga, Ia bersyukur mengetahui fakta bahwa Yoona adalah salah satu pekerja clubnya yang sedang terlibat masalah. “Aku tidak menyangka setelah semalam aku harus mengemis – ngemis di telepon dan menyakinkan sebuah penawaran besar kepadamu, kau akhirnya berhasil menyelesaikan misi ini dengan mudah, kau tahu ? aku agak putus asa ketika menangkap suaramu yang ragu – ragu tapi sudahlah toh kau akhirnya takluk pada permintaanku… Eumm sebenarnya aku sudah memprediksi kesuksesan misi ini, mengingat bagaimana Donghae tergila – gila padamu.”

Eunsoo menerawang penuh kemenangan. Sebenarnya jauh hari sebelum ini, Eunsoo kerap kali memohon – mohon kepada Yoona agar wanita itu membantunya menjalankan rencana picik yang telah disusunnya yaitu meggoda Lee Donghae, namun berkali – kali pula Yoona menolak tawaran itu. Hingga tersiar sebuah kabar mengejutkan bahwa Donghae membeli Yoona dari tangan mafia kenalannya. Dan situasi semakin berada dipihaknya tatkala Eomma Yoona tertangkap. Usai mangkir dari tagihan hutang – hutangnya yang belum tuntas dan kabur ke suatu tempat, akhirnya Eunsoo berhasil meringkus Eomma Yoona di tempat persembunyiannya.

“Sekarang bebaskan dia.” Yoona menatap kearah perempuan tua disudut kamar. Eunsoo tertawa, ia menatap Yoona kasihan.

 “Apakah Kau yakin akan terjadi pembuahan ?”

“Ne aku yakin karena sekarang adalah masa suburku.”

“Bagus. Tapi kau harus ingat, seandainya kau tidak hamil maka jangan salahkan aku jika hidupmu akan hancur ditanganku, Im Yoona. Ingat, kau adalah jaminan ibumu atas hutang – hutangnya.” Eunsoo tersenyum riang, “Dan seandainya benar kau hamil maka saat anak itu lahir, biarkan aku mengurusnya. Kau tidak boleh menuntut apa pun. Anak itu resmi menjadi anakku dan Lee Donghae.” Eunsoo menyeringai. Didalam kepalanya tercetak peta picik yang telah lama disusunnya. Suatu saat nanti, ia akan memanfaatkan anak itu agar Lee Donghae bersedia menikahinya.

“Baiklah, silahkan lepaskan sendiri Eommamu, dia sudah sangat menyusahkanku, beruntung aku tidak membuangnya ke jurang.” Ucap Eunsoo santai, berdiri dari posisinya, “Sekarang aku mau mandi, dan jangan berisik.”

Setelah kepergian Eunsoo menuju kamar mandi, Yoona menghampiri Eommanya yang meronta – ronta meminta agar Yoona melepasannya. Yoona tidak ingin membuang- buang waktunya, ia melepaskan seluruh ikatan yang menjerat Eommanya. Pertama – tama ia melepaskan ikatan yang membelit lengan Eommanya , setelah ikatan itu lepas, Yoona mencabut plester yang membuat Eommanya bisa bernapas dengan benar.

Sesak mendera tubuhnya, Yoona bangkit dari posisinya dan meraup napas sebanyak mungkin. Setetes air mata jatuh, setetes – demi setetes kemudian bertubi – tubi menghantam wajahnya. Yoona tidak pernah suka menangis didepan Eommanya, atau siapa pun. Air mata ialah tanda kelemahan begitu menurutnya.

“Sekarang Eomma senang, iyakan ?”

Sang Eomma mendongak dan memeluk kedua kaki Yoona. Meski terkejut wanita itu terdiam, tidak mengatakan apapun.

“Yoona, maafkan Eomma nak, Eomma tidak akan menyusahkanmu lagi, Eomma janji.” Isak eommanya.

Yoona tertawa merasa lucu, atau mungkin ia sudah gila ?

“Apa tidak cukup Eomma menjualku ? sebenarnya Eomma punya berapa banyak hutang, Huh?!”

“Ini yang terakhir nak, percaya pada Eoomma, setelah ini kita berdua akan hidup bahagia…”

“Bahagia ? !” Wanita itu terkekeh, namun sedetik kemudian tatapannya menajam, “Setelah aku menjebaknya, Eomma pikir aku akan bahagia ? huh ?!”

“Yoona… Hiksss… maafkan Eomma, Nak.” Eommanya kembali menangis, menangis meraung – raung seolah menyesali apa yang telah dilakukannya dan berdampak mengorbankan masa depan anaknya.

 “Yoona.. hikss… mianhae….”

Yoona bergeleng menolak segala umpatan yang berseliweran didalam kepalanya. Yoona menarik napas dan menghembuskannya penuh amarah. Ia ingin berteriak sekarang juga, ia ingin mengamuk dan melampiaskan seluruh kekesalannya, tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang mencoba berbakti terhadap ibunya, ini ?

“Dia… dia pria baik Eomma… sangat baik.” Racau Yoona mengawang pergi kepada sosok yang telah dikecewakannya.

.

.

.

.

.

Televisi didepan sana menyala menampilkan sebuah acara yang tidak kumengerti. Sebuah drama yang menayangkan seorang wanita sedang berjalan disepanjang trotoar menangisi pacarnya yang berselingkuh. Sangat membosankan, setidaknya kesan seperti itulah yang ada didalam pikiranku. Aku meraih remot dan menekan sembarang angka yang seketika mengubah stasiun di televisi itu. Semuanya masih sama, membosakan. Bosan, hambar dan hampa…  Kulayangkan senyum miris, mungkinkah.. seperti rasa yang mewakili diriku saat ini…

Salah satu aktris senior bernama  Song Yoona menampilkan wajahnya di TV dengan penuh senyuman. Yoona… bukan Song Yoona, tapi orang lain yang bermarga Im. Andaikan aktris itu adalah Yoona yang kumaksud—wanita yang menghilang tanpa jejak— aku akan langsung mendatanginya detik ini.

Nama ‘Yoona’ seolah menjadi sebutan keramat bagiku. Satu tahun berlalu setelah kejadian itu aku masih belum bisa melupakan segalanya, setiap sentuhan yang ditinggalkan Yoona pada hari itu seolah masih berbekas dan tidak lekang oleh apa pun. Usai peristiwa na’as itu berlalu, segalanya berjalan normal seperti biasa, hanya perasaanku yang tetap sama bahkan cenderung berlubang, ada sesuatu yang hancur ketika menyadari Yoona pergi— wanita itu menghilang setelah aku terbangun dalam keadaan tidak tahu apa – apa. Aku tidak perduli jika keyataannya Yoona memanfaatkan situasi diantara meraka, bukan itu yang menjadi masalahku, aku menghawatirkan Yoona setiap hari hinggga detik ini, apakah wanita itu menemukan kehidupan yang layak atau… apakah wanita itu menemukan kebahagiaannya ?

Aku menyadari selama ini sikap yang kutunjukkan terbilang melenceng dari yang seharusnya. Seharusnya aku membenci Yoona, seharusnya aku merasa kecewa dan kekecewaan itu sudah sepantasnya mengakar hingga kokoh tak tergoyahkan, namun faktanya justru tidak ada yang berubah, perasaan yang tertanam didalam hatiku tetap utuh seperti halnya saat pertama kali melihat wanita itu. Masih tercetak didalam ingatanku wajah Yoona saat ia tersenyum bahkan menangis dengan penuh ketulusan. Aku tidak mampu menghapus itu semua entah sampai kapan.

“Selamat malam. Saat ini anda sedang menyasikan breaking news pada pukul sembilan KST…” Himbau seorang news anchor wanita. Aku tidak mengerti ada apa dengan kepalaku; mengapa setiap kali melihat wanita, pikiranku selalu menerjemahkan bahwa wanita itu adalah Yoona. Entah kali keberapa aku lagi – lagi keliru mengenali orang lain sebagai Yoona. Aku tidak mengerti dengan otakku sendiri.

“Kali ini berita datang dari dunia hiburan malam. Setelah terungkapnya kasus Han seung Woon yang tertangkap basah mengeksploitasi wanita, Inisial  SES  yang diduga sebagai aktris senior sekaligus gembong utamanya yang mengetuai perekturan wanita malam telah terungkap.”

Han Seung Woon ditangkap ? sudah sepantasnya dia dihukum sejak dulu. Entah mengapa aku turut gembira mengetahuinya, satu persatu orang – orang jahat berhasil diciduk polisi. Goresan seringai dengan sendirinya mencuat dari kiri sudut bibirku. Suatu saat nanti, ada saatnya giliran mafia tengik itu.

Tanyangan ditelevisi mulai tampak menampilkan seorang wanita yang tengah digelandang polisi. Kusipitkan mataku penuh kejelian. So Eun Soo, siapa yang tidak mengenal wanita itu ?

“Sebelumnya masyarakat dibuat heboh oleh maraknya artis yang tertangkap terlibat dalam arus prosutusi, dari sejumlah artis ini diperoleh keterangan mengenai dalang dibalik bisnis prostitusi tersebut. Adapun polisi telah mengantongi inisial SES sebagai tersangka utama. Dari sejumlah data dilapangan, SES adalah anak dari aktris senior So hyuk Jin, yaitu So Eun Soo. Soo Eunsoo sendiri telah ditjemput paksa oleh pihak kepolisian di apartemennya. Proses penangkapan sang pelaku sendiri berlangsung pelik. Diketahui bahwa Soo Eunsoo memerintahkan pembantu rumah tangganya untuk berbohong sebelum pihak kepolian mencurigai suara tangisan bayi dari dalam sebuah kamar. Dan rupanya dari keterangan sang pembantu rumah tangga bayi itu adalah hasil perampasan yang dilakukan Eunssoo terhadap seorang wanita, bayi yang berumur dua bulan itu sendiri sudah dikembalikan pada ibunya.”

Potret – potret blitz kamera menggerumuni seorang wanita yang tengah berteriak – teriak memaki, dan kini wanita itu meronta ronta ditengah penjagaan kedua pengawal kepolisian yang memeganginya.

“Aku tidak mau ditangkap, aku harus merawat anakku !!! Dia tidak boleh kembali ke wanita itu !! dia hanya wanita bayaran ! Im Yoona tidak boleh mengambilnya !”

Klik.

Tayangan itu berubah menjadi layar hitam. aku berhasil meredupkannya dalam sekejap.  Kenapa harus Yoona, Yoona siapa lagi ini ?

Lagi – lagi nama Yoona disebut – sebut…

Sepertinya aku membutuhkan waktu untuk menghibur diri, sekedar bersenang – senang dan menjernihkan pikiran….

.

.

.

.

.

Bertepatan dengan musim gugur kali ini, aku mengambil kesempatan untuk berlibur ke pulau Nami. Tiga bulan menghabiskan waktu senggangku dengan hanya duduk manis menonton TV membuatku dipenuhi oleh bayang – bayang wanita itu, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu liburanku musim ini di  sebuah pulau. Sebuah pulau yang terkenal  menyimpan berbagai kisah romantis yang melegenda.

Musim gugur menerbangkan dedaunan berbagai warna  mulai dari merah, kuning hingga kecoklatan. Gugurnya daun – daun itu secara alami memiliki magnet tersendiri yang patut menjadikannya sebagai objek paling menarik saat ini. Kuarahkan kamera SDRL ditanganku membidik berbagai obek yang beruntun menampilkan berbagai sudur keindahannya. Aku berpindah dari satu tempat ketempat lain menyusuri berbagai sudut dipulau Nami. Fokus perhatianku tersita seluruhnya pada satu tujuan yaitu mengabadikan seluruh inci kejadian melalui kameraku, seolah merekamnya untuk kukenang nanti.

Dibawah pohon besar dimana daun – daun berguguran, aku menyandarkan tubuhku sambil melihat – lihat potret yang berhasil kuabadikan dengan kameraku. Bibirku berangsur – angsur menerbangkan segores senyum lebar. Gambar – gambar itu sangat indah bukan ? Jujur, baru kali ini aku merasa puas memotret objek hanya dalam sekali bidik.

“Oee…”

Tangisan seorang bayi menyadarkanku. Tidak jauh dari sana aku menatap seorang wanita berjaket cream, tidak jelas wajahnya karena wanita itu berdiri memunggungiku. Wanita itu mengangkat tubuh bayinya dari kereta dorong. Lalu dengan gerakan lembut ia menggendong sambil menimang – nimang malaikat kecil itu hingga tanggisannya berangsur – angsur mereda. Objek yang bagus. Objek itu memancarkan mood yang mengangumkan dan cukup langka.

Aku bersimpuh usai menemukan poisisi yang menurutku pas yaitu mengambil sudut dari arah samping kiri. Rambut wanita itu merah kecoklatan serupa dengan warna musim gugur. Tungkai – tungkai rambutnya tertiup angin yang berseliweran membawa dedauan. Sempurna. Begitulah kesan pertamaku, bahkan hanya dengan sekali melihat punggungnya, aku sudah bisa membayangkan bahwa hasil bidikanku akan bagus.

Klik

Klik..

Klikk..

Aku memotret seluruh pergerakannya saat ini.  Tidak dipungkiri, sang objek didepan sana menyadari suara bidikanku. Wanita itu membelokkan tubuhnya perlahan – lahan seiring bidikanku yang terus mengarah kepadanya. Aku tidak perduli jika wanita itu merasa terganggangu, selama didepan sana bertaburan puluhan pose yang mencuat dan sanggup kuabadikan, aku tidak akan berhenti mengeksplornya.

“D-onghae…”

Melalui lensa kameraku, arah tatapan kami berpapasan…

Matanya tampak bulat dan bersinar…

Sepertinya familiar.

Bangkit berdiri demi menguatkan pijakanku, kuperbesar objek didalam kamera itu belasan kali hingga kira – kira dalam jarak satu senti, kupastikan dengan cermat wajahnya secara terperinci.

Wanita itu seperti…

Tubuhku lemas hingga aku hampir saja menjatuhkan kamera ditangaku. Aku terpaku menganggam erat kamera itu, dalam durasi cukup lama menatap sosoknya yang berdiri didapan sana,  sepasang mata kami bertemu memancarkan isyarat aneh. Ini pasti mimpi, ya, ini hanya mimpi ditengah musim gugur. Kuakui wanita bernama Im Yoona benar benar dahsyat meracuni pikiranku hingga setiap wanita yang kulihat akan serupa dengannya.

Tidak, kali ini aku pasti salah, iya kan ?

Aku mungkin salah ketika wanita yang kukira Yoona menggerakkan bibirnya seolah – olah menggumamkan namaku sekali lagi…

Lee Donghae…

Aku mulai berpikir. Bahkan jika dia adalah bayangan didalam mimpi, bisakah aku menganggapnya sempurna ? sempurna sebagai sesuatu yang nyata, meski sosoknya tidak bisa kumiliki sekali pun.

Aku tersiksa karena bayang – bayang wanita itu yang tidak bisa berhenti mengitari kepalaku. Apakah ini disebut cinta atau sebuah kekaguman berlebihan dari seorang lelaki yang merindukan seorang wanita ? Apakah ini yang disebut ketulusan ? mencintai tanpa syarat apa pun, cukup membayangkannya disampingmu dan memikirkannya setiap saat bahkan ketika ia jauh darimu, kau akan merasa terikat satu sama lain dan merasa bahwa kalian ditakdirkan.

Hingga kalian benar – benar dipertemukan oleh takdir. Sosoknya bukan lagi berwujud bayangan yang selalu menghantuiku akan tetapi sosok itu kian menjelma dalam bentuk nyata, padat dan hidup memunculkan getaran – getaran  rindu yang sekian lama terpasung, semakin membabi buta.

Lalu, apakah aku berhak memeluknya detik ini ?

Aku tidak memiliki cukup tenaga untuk bertahan seorang diri bersama perasaanku yang kekal tidak berubah, setiap malam aku  menangis diam – diam karenanya. Bahkan jika seseorang itu terbukti merekayasa jalan cerita dengan cara picik yang menyebabkan mereka berdua akhirnya menyatu dan terikat, apa pun motif dibalik itu, aku tidak perduli. Aku akan membuangnya— masa – masa suram diantara kami sejauh mungkin.

Lagipula sudah lama semenjak kejadian itu berlalu. Terlalu banyak yang berubah kecuali perasaanku… padanya.

Dia adalah wanita rapuh yang tidak ingin dikasihani, dia adalah masa lalu yang indah dan tidak bisa terhapus dari pikiranku… dia adalah takdir yang benar – benar sempurna.

.

.

.

.

.

Seorang wanita berdiri kaku disana menggumam dalam hati ditengah geliat mungil tubuh malaikat kecilnya. Ia meletakkan sang buah hati yang tengah meracau itu ke dalam kereta bayi. Wanita itu kembali keposisi semula memadangi lelaki dihadapannya,  seketika dunia berubah sunyi dikala mata teduh itu berbalas memandanginya dari kejauhan.

.

.

.

.

.

Sejak awal aku tidak pernah menyangka bahwa hari ini akan tiba. Hari dimana aku akan dipertemukan dengan lelaki masa laluku setelah kekacauan itu. Sekarang dia disana, berdiri memandangiku dengan sangat dalam.

Apakah pantas untukku menerima maaf darimu ? Pria sebaik dia tidak sepantasnya menelan kekecewaan hanya karena seorang wanita sepertiku, kini lusa dan suatu saat nanti— untuk kedua kali bahkan sedetik pun, dia tidak pantas merasakannya. Kepedihan itu akan kutanggung sendiri.

Jadi kumohon menjauhlah, Lee Donghae.

Tapi tidak, lelaki itu dengan bodohnya menggarap langkah cepat dan berdiri didepanku, lantas ia mendekapku hingga sesak napas, namun entah bagaimana ini terasa hangat bahkan menenangkan. Dan aku merasa benar – benar sempurna didalam rengkuhannya dan diantara wangi tubuhnya yang mengudara didalam penciumanku. Lee Donghae, mengulang – ulang namanya membuatku menitihkan butir – butir kepedihan yang tidak mampu kuhalau. Lelaki itu mendekapku semakin erat, desah – desah kerinduan itu menggulirkan hembusan napasnya yang bersahutan menggelitik pendengaranku. Secara otomatis tubuhku terhanyut mengartikan detak jantungya saat ini— porak – poranda, sama sepertiku atau mungkin lebih dari ini….

Aku ingin berkata bahwa situasi yang kualami detik ini adalah mimpi, namun fakta mengingkarinya. Meski pun berat untuk menyadari, sepantasnya aku harus mengakui;

Aku bertemu dengan lelaki itu di tempat serupa yang akhirnya mempertemukan kami, di waktu dan detik yang sama.

Lalu apakah takdir begitu enggan memisahkan kami ?

Kenapa ?

Apakah karena kami sudah ditakdirkan…

Sementara itu, seorang bayi didalam kereta dorong menggeliat ditengah pembaringannya.  Bibir mungil sang bayi melengkung tipis menyaksikan detik – detik dimana sepasang tubuh itu saling berdekapan mengutarakan rindu. Perlahan bibir merah nan tipis dari malaikat kecil itu berangsur – angsur melebar dan memunculkan gelak tawa tanpa suara.

……………THE END………..

‘Apakah karena kami sudah ditakdirkan ?’ silahkan jawab sendiri wkwkwkwkwk

Begitulah endingnya yang errr.. *jangan timpuk saia 0__0

. Aku sudah bilang keun ceritanya aneh wkwwk terus kalian nagih2 ff mele, sweet legacy – nya belum jadi dan kyknya membutuhkan waktu lama hehe, harap bersabar, tp aku akan tetap lanjut kok, karena ff itu udah aku susun draftnya sampai ending, tpnya ya itu… nyari waktu buat nulisnya yg susah. Beda sama oneshoot, klo nulis oneshoot itu ceritanya langsung ending dan nggak pakek mikir lagi gimana2nya. Nah klo chapter tuh harus nyambung terus, klo udah berhenti ditengah2 suka males lanjutinnya lagi hahaha, mesti kumpulin feel lagi dari awal biar nyambung dan itu butuh waktu buat bersemedi -__-

Sekian cuap2 yang gak jelas ini. Byeeee

Penulis:

nyanya nyinyi nyonyo :p

34 tanggapan untuk “[Oneshoot] FF YoonHae – FAINT

  1. kangen bgt sumpah sma ff na author…. makasih udh mngobati rindu,,, ff ini bkin geregetan alur.a gk kebaca hebatttt…. tpi msih kurang thor ada sequel deh thor ttg yh familynya hehehe #ngarep… oke dtggu ff author lainnya fighting 😀

  2. kak,, endingnya gantung 😥 HUWaaaaaa, yoong tga ama ongekkk. ongekk udh tlus gtu 😦 Tpi hppyending 🙂 ishh eunso jhat bner deh. yoonhae pnya masalalu yg kelam 😦

    Next kak.. sweet legacy ttp ditunggu yah 🙂

  3. Knp harus end disaat yg tidak tepat sih unnie…..
    Knp ga ada percakapan antara YH..iyu bayi.a jg kasian jadi obat nyamuk(?)
    Knp dongek ga dikasih tau klo itu bayi.a 😭😭
    Butuh squel pless 😭😫

  4. agak negangin si aslinya sama kisah cintanya donghae sama yoona. bener2 ga tega kalo akhirnya yoona dijual kesana kemari demi ngelunasin utang ibunya. sayangnya pas ending donghae ga tau kalo anak yang ditimang2 sama yoona itu benihnya dari donghae. tapi happy ending seneng atulah, kurang percakapan si hehe. keren chingu, ditunggu ff selanjutnya yaa

  5. Huaaaaa keren kak. Butuh sequel please 😊
    aduh debay ikut bahagia klo emak bapaknya kumpul gtu. Tlong dilanjutin kak.. reaksi donghae klo tau itu bayi anak kandungnya. Ntar juga bertiga hidup bahagia
    ahhh johaaaaaaaa 😀

  6. ceritanya baguusss…
    kasian yoona tp akhirnya bisa ketemu lg sama donghae. walaupun endingnya masih gantung tp seneng akhirnya happy ending.
    ditunggu ff yh lainnya thor^^

  7. Sempet bingung dan akhirnya makin bingung ..ini kaya gantung un ,kenapa gak di jelasin dulu kalau bayi itu anak mereka atau setidaknya ada sedikit percakapan di pertemuan mereka itu ,tapi ya emang gitu konsep nya kali ya ,berasa penuh teka teki ^^hehe
    di tunggu sweet legacy nya unnn ,makin gak sabar nunggu next keromantisan mereka 🙂

  8. HWAA, lama g baca FF yoonhae.. Rasanya kangen berat sma mreka
    Ceritanyaa baguss.. Aq skaaa,
    Sering2 bkin FF kek gnii doong.. Wkwkkk
    Semangat y thorr buat ngetiknya

  9. endingnya kenapa gantung ya eoni? huuu~
    padahal kalo dilanjutin pasti makin keren tapi yasudahlah ya gapapa, yang penting ff yoonhae..
    semangat buat sweet legacy nya eoni, aku menunggu~~

  10. kangen bgt am ff yoonhae 😢😢 makasi udh bikinin oneshoot yg setidakny bs mengobati rasa kangen am yoonhae.. byk bgt author yg hiatus.. aq sedih T.T
    keep writing ff yoonhae y^^ sweet legacyny ditunggu

  11. Yah,,, kalo emang jodoh mah g bkl kemna!!!!
    Aku suka char Yoona yg tegar walau rapuh diimbangi sm kebaikan Hae,, beuh mantap jiwa!!!!
    Daebak,,, stay healthy and keep writing for authornim!!!

Tinggalkan Balasan ke Vaniza Rianie Batalkan balasan