Diposkan pada Super Generation FF, Uncategorized

[ Oneshoot ] FF YoonHae – All My Life

Title : All My Life

Cast : SNSD Yoona, Super Junior Donghae

Author : Nana Shafiyah 

Genre : Romance, Drama

Rating : PG-17

Haloha ~

Aku bawa oneshoot hehe, ini langsung habis kok ceritanya, tenang aja 🙂

~Happy Reading ~

Setiap malam aku melihatnya tersenyum. Kami berdua berada diatas ranjang yang sama, namun akhir – akhir ini segala sesuatunya terkesan menyimpang, mungkin sepertinya bukan lagi diriku yang menjadi objek senyumannya. Lelaki itu tersenyum lebar memandangi sebuah kertas persegi yang menampilkan sebuah potret seorang wanita. Lelaki itu memandanginya sangat lama, kulihat bibirnya bergerak kecil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas ditelingaku. hingga kesadarannya berangsur jatuh melambung jauh menuju kealam mimpi. Aku membiarkannya disampingku, tertidur memeluk selembar foto itu, lagi – lagi aku tidak tahu foto siapa yang dipandanginya bukan hanya hari ini akan tetapi setiap malam. Setiap malam hatiku sesak melihatnya seperti ini. Lelaki itu mengacuhkanku sendiri. Aku tidak tahu dan tidak pula berselera memeriksa bahkan melirik siapakah wanita itu, wanita yang sering dipandanginya secara sadar dihadapanku, seolah – olah aku adalah mahluk tidak kasat mata. Ya, anggap saja seperti itu, aku adalah mahluk tidak kasat mata.

Im Yoona, nasibmu malang sekali. Begitulah yang sering kukatakan pada diriku sendiri, tentang hidupku yang sangat menggenaskan. Aku sendiri tidak mengerti dengan sesuatu yang salah dari hubungan kami. Beberapa bulan lalu aku menikah dengan seorang lelaki bernama Lee Donghae. Kami menikah atas dasar cinta kasih, rasa percaya dan kesepakatan untuk membangun komitmen sehidup semati dihadapan Tuhan. Masing –masing dari pihak keluarga kami tidak ada yang menentang pernikahan itu. Keluarga kami berhubungan dengan baik, bahkan teman – temanku dan teman – temannya mudah saja berbaur akrab dalam waktu yang singkat. Resepsi pernikahan kami meriah dan berjalan lancar. Kami menghabiskan bulan madu di pulau Jeju selama satu minggu lantas menghabiskan waktu menyenangkan, hanya berdua. Sempurna bukan ? tidak ada yang salah dari hubungan kami, pada awalnya…

Terbuai oleh rasa manis yang menyesatkan, begitulah pengandaian yang kualami. Setelah pulang dari acara bulan madu, Donghae mengajakku tinggal di apartemennya, lagi – lagi semuanya masih berjalan sesuai dengan rencana yang telah kami susun. Donghae menyambutku dengan hangat, lelaki itu bahkan menggendongku kedalam sebuah kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Aku menganggap kamar itu adalah milikku dan miliknya. Rangkaian bunga – bunga dan lilin aroma terapi memenuhi kamar kami. Aku terharu, merasa seperti detik itu hidupku berpindah ke negeri dongeng. Donghae menjatuhkan tubuhku kedalam sensasi dingin permukaan ranjang. Rasanya nyaman dan empuk. Kehangatan menaburi tubuhku ketika lelaki itu mendekapku malam itu, mendekapku penuh kasih yang terasa sempurna. Aku tersenyum dibawah sentuhannya yang menaburi tubuhku sepanjang malam.

Hari – hariku lebih berwarna seiring kehadirannya. Saat itu, belum ada yang berubah. Setiap hari aku melakukan kegiatan rutinku yang terasa menyenangkan. Jujur, aku adalah tipe orang yang mudah bosan dan tidak menyukai rutinitas, entah kecuali rutinitas melayaninya setiap pagi. Aku menyediakan sarapan untuknya sebelum ia berangkat ke kantornya. Suamiku sendiri adalah manager di sebuah bank, jadi pagi – pagi sekali aku harus bangun dan menyiapkan seluruh keperluannya, barulah ketika mobilnya meluncur, aku mempersiapkan diri menuju salon tempatku bekerja satu jam setelah kepergiannya. Walau pun kami sama – sama bekerja, sebisa mungkin aku berusaha pulang ke aparteman lebih dulu darinya, atau paling tidak berusaha mengabarinya ketika pulang terlambat, namun sejauh ini hal itu jarang terjadi karena suamiku lebih sering bekerja lembur di kantornya. Setiap malam aku selalu menunggunya hingga Ia benar – benar sampai didepan wajahku, aku tidak akan tidur sebelum ia kembali, itu prinsipku. Donghae memelukku dan berkata bahwa aku tidak perlu menungguinya hingga larut, tapi aku tetap kekeuh menolak. Aku mengerti Donghae berkerja mencari uang untuk hidup kami dan untuk membahagiakanku. Aku tidak mungkin membiarkannya mati – matian berkerja sementara aku disini enak – enakan tertidur. Tidak, aku tidak mau seperti itu. Setiap kali aku menjelaskan bahwa aku akan selalu menunggunya bahkan sampai pagi, Donghae akan tersenyum lantas memelukku sambil berbisik mengucapkan terima kasih dan berbagai kalimat cinta penuh kasih yang menghangatkan. Tubuhku bagai terbuai kata – katanya, aku menikmatinya tanpa prasangka apa pun, sebab yang kutahu kini aku bahagia, aku bahagia hidup bersamanya dan kuyakin akan selalu seperti itu.

Namun harapan hanya sebatas harapan. Harapan itu berujung semu yang nyatanya mustahil untuk kugapai.

Wanita itu bernama Song Qian…

Dua bulan berjalannya pernikahan, wanita itu muncul ditengah kehidupan kami… Wanita yang kuketahui adalah masa lalunya. Wanita itu datang ke apartemen kami malam hari tepatnya di akhir pekan. Kehadirannya sangat mengganggu. Aku yang saat itu sedang menonton film romantis dengan Donghae tiba – tiba dikejutkan oleh senyuman seorang wanita dibalik pintu. Setelah mengingat – ngingat wajah wanita itu tubuhku seolah mengalami shock terapy. Song Qian yang kukenal sebagai Victoria, dia adalah mantan tunangan Donghae, kupikir ini mimpi tapi wanita itu benar – benar berdiri disana… seketika tubuhku lemas kehilangan tenaga. Terlebih ketika melihat bagaimana cara Donghae memandanginya. Betapa aku mengingat bagaimana tatapan Donghae ketika menatapku penuh cinta dan aku hampir tidak percaya ketika untuk pertama kalinya lelaki itu menatap wanita lain—dihadapanku—dengan cara yang sama. Kupikir aku adalah wanita satu – satunya yang berhak menerima tatapan seperti itu darinya, namun ternyata aku salah.

Kuakui wanita berkebangsaan China itu sangat cantik dan anggun, lelaki mana pun pasti akan terpikat dengannya dalam sekali pandang, termasuk suamiku. Kulitnya putih, tubuhnya tinggi, berambut hitam panjang dan perangainya lemah lembut. Kupikir dia akan lebih cocok menjadi seorang model, selebriti atau mungkin personil girlband. Kuakui dia benar – benar wanita sempurna, bahkan jika dilihat dari sudut pandangku yang juga seorang wanita.

Bodoh… aku memang bodoh. Victoria memeluk Donghae, lagi – lagi didepan mataku. Pelukannya memancarkan kerinduan yang dalam. Saat itu aku hanya mematung tidak tahu harus berbuat apa. Sesungguhnya aku ingin memaki – maki, kalau perlu mengamuk tapi…. Tapi tubuhku seakan tidak bisa diajak kompromi. Aku hanya berdiri disana, mematung, menatap mereka berdua seperti orang bodoh.

Sebelum dadaku benar – benar diremukkan oleh adegan menjijikkan itu, aku lantas menyingkir dari sana meninggalkan mereka berdua yang entah menyadarinya atau tidak bahwa aku telah lenyap dari sana, dan sekarang mereka senang bukan ? Tidak ada lagi wanita pengganggu yang merusak acara nostalgia yang terajut diantara dua insan yang saling merindukan itu. Mereka berdua bebas melakukan apapun. Lakukan semau kalian karena saat ini aku benar – benar tidak perduli. Bohong ! aku adalah wanita munafik. Nyatanya saat itu aku langsung membanting pintu, memutar kunci setelahnya terisak seorang diri didalam kamar. Ditemani hening, aku menikmati sesak itu. Bayang – bayang mengenai tingkah mereka mulai menghantui.

Kupikir Donghae akan menyusul saat menyadari kepergianku dan berkata bahwa mereka tidak mempunyai hubungan apa – apa lantas meyakinkan dengan sepenuh hati bahwa hanya aku satu – satunya wanita yang saat ini hidup didalam hatinya, namun miris… semua itu hanya sebatas angan – angan. Donghae memilih disana, meladeni wanita itu tanpa memperdulikanku yang jelas – jelas mengibarkan bendera perang. Katakanlah aku berlebihan. Ya, aku menyadari perilaku yang sejak dulu mengakar padaku. Aku menyadari betapa diriku sangat posesif, dan Donghae sangat mengerti tentang hal itu. Donghae pernah mengatakan bahwa sikap posesif yang kumiliki adalah sebuah kelebihan, bahkan sejalan dengan mulut manisnya ia berkata bahwa sikap itulah yang membuatnya semakin jatuh cinta. Cih… sekarang lihat buktinya ? dia sama sekali tidak memperdulikanku. Didepan wanita itu aku hanyalah sampah.

Ketukan pintu terdengar dari luar, aku mengabaikannya bulat – bulat. Ini sudah mencapai satu jam lebih setelah kejadian memuakkan itu. Dan apa ini ? Donghae menganggapku apa ? Apakah lelaki itu hanya menganggapku sebagai sampingan ? kenapa dia tidak melakukannya kalau perlu mencegat langkahku saat aku pergi secara tiba – tiba, kenapa ? Aku tertawa seiring tangisanku, merasa lucu. Selama ini Donghae selalu menggapku seolah – olah aku adalah yang utama tapi dihadapan gadis itu semuanya hancur. Oh ya, jadi benar, sikapnya selama ini tidak lebih dari seonggok topeng kebusukan.

Aku mengenyahkan diri dari apartemen itu. Malam yang kupikir akan indah, mendadak berubah mencekam.

Donghae mati – matian mencegahku agar tidak pergi namun keputusanku sudah bulat. Disepanjang perjalanan menuju jalan raya kami terus berdebat, bahkan didalam lift apartemen wajah – wajah prihatin semua orang menonton perdebatan kami, namun sekali lagi aku tidak perduli. Katakanlah saat ini aku gelap mata. Donghae mulai menjelaskan panjang lebar mengenai kedatangan Victoria. Omong kosong. Aku tidak bisa sedikit pun menangkap kejujuran dari kata – katanya karena perasaan kecewa itu terlanjur mengganas. Menurutku percuma dia berbicara panjang lebar karena aku tidak akan percaya. Saat ini penjelasan bukanlah sesuatu yang ingin kudengar, yang ingin kudengar hanyalah alasannya berbalik mengabaikanku dan justru membiarkan wanita rubah itu memeluknya. Tidakkah Donghae memahaminya ? bahwa perasaanku hacur berkeping – keping… dan itu karena ulah mereka; dia dan wanita itu.

Aku berlari memacu langkahku menghindarinya. Kucegat sebuah taksi yang kebetulan melaju kearahku. Tanpa memperdulikan Donghae yang berteriak memanggil – manggil, aku naik kedalam taksi itu. Terakhir kali kulihat Donghae terengah – engah dipinggir jalan. Matanya menatap sendu kearahku. Meski pun saat itu jarak pandang diantara kami dipisahkan oleh jendela hitam taksi, aku masih merasakan tatapannya, entah kenapa. Hatiku nyaris terenyuh. Sesuatu berbisik didalam sana bahwa aku tidak boleh bersikap seperti ini, aku tidak boleh meninggalkannya. Sesuatu didalam diriku meyakini bahwa lelaki itu masih menyimpan perasaan cinta yang sangat besar terhadapku…

Tapi… aku terlanjur kecewa. Sudah terlalu jauh untuk mundur. Kuputuskan untuk melanjutkan perjalananku. Supir taksi yang mengantarku mulai bertanya tentang arah tujuanku, mungkin pertanyaannya itu diajukan untuk ke-lima kalinya, namun kuabaikan sejak tadi.

“Ke—“ Baru saja aku hendak meminta supir taksi itu agar mengantarku ke rumah Taeyeon, sahabatku. Namun sensasi aneh serasa menyerang tubuhku. Rasa mual yang hebat mendadak bergentayangan menyerang perutku. Aku ingin muntah, terlebih mencium bau taksi yang berubah memuakkan. Aneh, biasanya aku tidak begini. Padahal ketika kuperhatikan, taksi yang kutumpangi tidak menggunakan pengharum apa pun.

“Ahggasii, bolehkah saya tahu tujuan anda ?”

“Ke klinik.” Jawabku sekenanya. Rasa mual itu semakin membabi – buta didalam perutku. Aku tidak boleh muntah disini, tidak boleh. Itu memalukan. Aku membekap mulutku sendiri, sebisa mungkin mencegah kejadian memalukan yang dapat saja terjadi. Lima belas menit kemudian, taksi yang kutumpangi merapat. Sebuah klinik terpajang tidak jauh dari area pemberhentian. Aku harus kesana sebelum terlambat, ya.

‘Brukkk…’

.

.

.

Lalu ? entahlah.

Aku tidak bisa mengingatnya setelah itu. Susunan kejadian yang kualami bagaikan puzzle membingungkan yang tidak bisa kuselesaikan ditengah jalan.

Hanya sebatas itu kejadian yang bisa kuceritakan, tepatnya ingatanku hanya mampu menjangkau gambaran saat aku menumpangi sebuah taksi, setelah itu semuanya kosong. Gudang penyimpanan didalam otakku mungkin tidak mampu menampungnya. Ingatan setelah aku berbicara dengan supir taksi masih menjadi misteri bagiku hingga saat ini.

Tepatnya hari itu—sepuluh hari yang lalu kejadian aneh menimpaku…

Tiba – tiba duniaku berpindah dalam sekejap. Saat aku membuka mata, kusadari bahwa aku tidak lagi berada di dalam taksi seperti halnya ingatan terakhirku, namun yang menjadi pertanyaanku adalah keberadaanku saat itu di tempat yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, didalam bangunan seperti rumah sakit.

Apakah aku keracunan karena mabuk ? atau pingsan ditengah jalan. Aku bertaya – tanya kenapa posisiku terdampar sejauh itu ?

Aku tidak keracunan apalagi pingsan. Saat itu aku merasa bahwa kesadaranku masih utuh. Lagi pula jelas tubuhku tidak terkapar diatas ranjang perawatan melainkan, aku tengah berjalan menyusuri koridor yang kuyakini adalah rumah sakit. Aku berjalan lurus, pikiranku linglung meyaksikan lalu lalang beberapa perawat yang tengah mendorong blankar. Diatas blankar itu tampak seorang lelaki yang sedang berdarah – darah. Tubuhku sontak merinding. Buru – buru aku menjauh dari sana.

“Permisi…” kuingat pada saat itu aku memutuskan menghampiri dua orang perawat yang tengah berbincang. Aneh, mereka tidak menoleh sedikitpun, mereka asik mengobrol satu sama lain kemudian pergi, bahkan ketika aku mencoba menyapanya untuk ketiga kali, seolah tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari kehadiranku.

“Yoona, sadarlah sayang… sadar.” Suara seseorang menyeret fokusku berpaling kearah sumbernya. Aku terkesiap bukan karena mendengar namaku disebut – sebut tapi suara sesorang itu mengingatkanku pada sosok yang kukenal. Donghae.

Aku mengernyit dan berjalan menghampirinya.

“Yoona, Mianhe.. mian… kumohon bangunlah !” kulihat Donghae terisak – isak menangisi seseorang yang terbaring tidak berdaya diatas blankar. Donghae dan para petugas medis bergegas mendorongnya menuju sebuah ruangan. Selain Donghae, aku juga menangkap salah seorang yang kukenal disana, Junho. Dia adalah sahabatku sejak usia kanak – kanak. Dan setahuku hubungannya dan Donghae terbilang buruk. Entahlah, Donghae tidak pernah suka dengan cara Junho menatapku. Itulah mengapa aku sendiri tidak pernah berniat mempertemukan mereka. Lalu kenapa tiba – tiba mereka berdua ada ditempat yang sama ?

“Yoona bertahanlah kumohon.”

Ada apa ini ?

Yoona, sejak tadi Donghae selalu saja menyebut namaku. Terlalu banyak petugas yang menggerubuni blankar yang ditangisi Donghae membuatku sulit memastikan orang itu.

“Oppa ini aku Oppa !!!” teriakku ikut berjalan terburu – buru mengikuti arus ketegangan. Namun keanehan lagi – lagi terjadi. Donghae terus menerus memanggil – manggil namaku padahal… padahal aku disampingnya.

“Maaf tuan, silahkan menunggu di ruang tunggu. Kami akan bekerja semaksimal mungkin.” Seorang petugas medis menghimbau usai mereka berhenti di depan sebuah ruangan bertuliskan ruang operasi. Operasi ? siapa yang akan dioperasi ?

“Selamatkan istriku ! tolong selamatkan dia…”

Kupikir ada masalah dengan telingaku. Selamatkan… siapa ?

Donghae menghentikan langkahnya begitu pula denganku.

Perlahan kupastikan baik – baik wajah seseorang yang terbaring di atas blankar yang ditangisi Donghae. Sekarang ini tidak banyak petugas yang mengerumuni-nya hingga aku bisa memastikan wanita itu lebih mudah. Tampak bahwa tubuh wanita yang sedang tidak sadarkan diri itu dipenuhi luka perban terutama dibagian wajahnya. Selang oksigen yang menempel dihidungnya sedikit menghalangi penglihatanku tapi sepertinya aku mengenal wanita itu….

Ya, aku mengenalnya, dia itu adalah…

Aku ???

Mungkin saja duniaku akan kiamat sebentar lagi. Tubuhku lemas tanpa daya. Aku benar – benar tidak mengerti. Kutatap kedua tanganku penuh ketengangan. Tidak ada yang berubah, kedua tanganku masih utuh begitu pula dengan seluruh tubuhku.

“Yoona…” desis Donghae begitu lirih ditelingaku. Aku hanya menatapnya nanar. Aku tidak ingin mati. Aku masih ingin hidup di dunia ini bersama suamiku dan mewujudkan mimpi – mimpi kami yang belum tercapai. Aku berusaha berbicara padanya, tapi Donghae tetap tidak bisa mendengarku. Lalu bagaimana dengan Junho… aku mencari – cari keberadaannya, kupikir aku melihatnya ditempat ini, tapi kemana dia ? tiba – tiba orang itu menghilang.

Sudahlah. Aku menyerah. Fokus perhatianku tertuju sepenuhnya kepada Donghae suamiku. Suamiku yang saat ini terduduk sendiri di ruang tunggu dan menekuk wajahnya frustrasi. Aku duduk—namun justru melayang—disampingnya, aku ingin memeluknya tapi selalu gagal, tubuhku berakhir menembus tubuhnya seperti angin. Bagaimana bisa ini terjadi ? aku tidak paham. Pada akhirnya aku memutuskan untuk memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Meski pun nyatanya Donghae tidak bisa melihatku, setidaknya aku masih bisa memantaunya dari sini. Aku masih bisa memandangi suamiku dari jarak dekat. Ya, aku tetap bisa menemani Donghae Oppa… menemaninya sebagai mahluk tak kasat mata. Sudah cukup untukku.

Aku disini Oppa, dan akan selalu disampingmu…

…………

“Yoona… Yoona…” Lagi – lagi igauan lelaki itu bertimpalan ditelingaku. Donghae menggeliat dalam tidurnya. Selembar foto yang sejak tadi dipeluknya ikut tersibak. Sekilas Kuteliti wajah seseorang didalam photo itu, sesuai dugaanku, sepertinya dia adalah seorang wanita. Rasa penasaran yang menyiksa membuatku terdorong untuk memastikannya lebih jauh. Tiupan angin membalik photo kesayangan Donghae yang jatuh dalam posisi miring kini berubah tergeletak memperlihatkan bagian depannya. Kini, wajah wanita itu terpampang semakin jelas. Wanita itu… dia tampak berpose setengah badan mengenakan pink dressnya. Wanita itu tersenyum anggun kearah kamera, senyuman yang diumbarnya tidak hanya sebatas lengkungan dibibir namun tersirat kebahagiaan sempurna yang memancar indah.

yoona31

Senyumku tergolek miris. Bukankah itu aku… Setiap malam Donghae memandangi photoku. Dia bodoh. Sebenarnya aku takut Donghae memandangi wanita lain. Itulah yang menjadi momok mengerikan bagiku. Aku takut Donghae meninggalkanku. Tapi detik ini kusadari bahwa sikapku yang seperti itu terlalu mengekangnya dan berujung melukai kami.

Andai saja malam itu aku mendengarkan penjelasannya tentang maksud kedatangan Victoria…

Andai saja malam itu aku tidak pergi karena rasa cemburu berlebihan…

Barangkali hari ini kami akan tersenyum satu sama lain dan bersatu merajut harapan – harapan indah bersama…

“Oppa, maafkan aku. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku Oppa..” ucapku bersama sejumput penyesalan pun nyatanya aku meyakini Donghae tidak akan bisa mendengar suaraku. Saat ini lelaki itu tertidur, tertidur diatas ranjang kami. Wajahnya gelisah, setiap malam aku melihatnya berkeringat dan mengigau, bahkan terbangun tiba – tiba karena mimpi buruk.

Ini semua karena sikapku… aku menyiksanya…

Sungguh, seminggu belakangan aku bertanya – tanya tanpa henti; setelah menaiki taksi, apa yang terjadi padaku setelahnya ? Bagaimana bisa jasadku kritis dan rohku berada di rumah sakit ?

Siapa pun jawab aku… tidak, nyatanya tidak ada satu pun mahluk yang bisa menjawabku. Aku berusaha mencari jawabannya seorang diri tapi nihil.

Aku tidak ingat kejadian apa yang mengubahku hingga berakhir seperti ini. Miris, aku bukan lagi sosok manusia yang memiliki raga yang utuh. Tidak kusangka bahwa tubuhku akan berubah menjadi bayangan roh. Aku benar – benar berubah menjadi mahluk tak kasat mata yang bahkan tidak mampu menyentuh satu pun benda padat disekitarku. Setiap kali aku mencoba menyentuhnya, benda itu seolah menembus tanganku, atau justru… akulah yang menembusnya.

Pagi ini, aku berencana mengikuti perjalanan Donghae Oppa. Sudah menjadi rutinitasku akhir – akhir ini, mengikutinya sampai ke rumah sakit nanti. Dia hendak memastikan kondisku, ya Apalagi yang dilakukannya disana selain memeriksa perkembanganku… memeriksa kemajuan kesehatanku yang tidak kunjung meningkat pasca terbaring koma. Seolah kewajiban itu mendarah daging, Donghae Oppa menyempatkan diri menjengukku setiap pagi dan menjagaku selepas pulang kerja. Donghae tidak segan – segan menjagaku sepanjang malam. Namun khusus tadi malam sepertinya Eomma menghawatirkan kesehatan Donghae Oppa, jadi Eomma menyarankan agar suamiku itu pulang dan beristirahat.

Sekitar jam enam pagi Donghae terbagun. Kebiasaan itu sangat jarang terjadi ketika kami bersama. Donghae selalu terbagun lebih siang dariku.

Mulai saat membuka mata, pantauanku tidak pernah lepas darinya. Sebelum beraktivitas, aku selalu memastikan bahwa Donghae Oppa memakan sarapannya dengan baik. Aku memperhatikan penampilannya. Donghae terbilang cuek dalam masalah penampilan jadi, setiap hendak berpergian, aku kerap kali menjejalkan diri sebagai stylish pribadinya.

Entah bagaimana aku sangat merindukan saat – saat seperti itu… Aku merindukannya… Aku sangat merindukan momen – momen berharga kami…

……..

Bunyi kardiograf memenuhi ruangan tempat dimana tubuhku kini terbaring tak sadarkan diri diatas ranjang perawatan. Berbagai peralatan medis memenuhi tubuhku bahkan untuk menerima asupan makan aku harus menggunakan selang. Entah sudah berapa banyak cairan infuse yang dimasukkan kedalam lenganku. Aku tidak sanggup membayangkannya. Kini aku menguatkan diri menatap jasadku. Beberapa bagian diwajahku penuh dengan bekas luka begitu pula yang tercetak dibagian lenganku, lebih dari tiga ulasan perban masih melekat disana. Kupikir sangat malang menyaksikan nasibku sendiri. Rasanya sakit dan pedih. Namun begitu, Apa yang sekiranya bisa kulakukan sekarang ? tidak ada… tidak ada selain meratap.

Sepulang kerja Donghae langsung mengunjungi rumah sakit demi menyambangiku. Lelaki itu berhenti memenuhi jatah lemburnya di kantor. Donghae menjagaku sore hari hingga larut malam. Dan karenanya aku kerap kali menyaksikan wajahnya yang menderita.

Aku ingin marah pada keadaan ini, namun siapa sesungguhnya yang bisa disalahkan ? aku tidak tahu…

Diseberang ranjang Donghae mengusap lengan kananku, menggenggamnya seolah menyalurkan seluruh energi yang ia miliki.

“Yoona aku merindukamu sayang, cepatkah kembali… Sebentar lagi Eommamu akan kesini. Oppa tidak tahu bagaimana cara melarang Eommamu dan memintanya beristirahat di rumah. Padahal malam ini giliranku menjagamu. Mungkin Eommamu cemburu padaku, Eommonim ingin seterusnya menatap wajahmu…”

Aku tersenyum mendengar kata – katanya. Dia sangat konyol. Bagaimana mungkin Eomma cemburu hanya karena hal seperti itu.

Donghae menangkup wajahku lalu mengusapnya perlahan. Tatapannya lembut dan sangat meneduhkan, “Saranghae, Yoona…”

“Nado Oppa.” Tanpa sadar bibirku bergumam halus. Aku juga mencintaimu sangat. Aku ingin kembali padamu, aku ingin masuk kedalam tubuhku dan memelukmu seerat mungkin tapi… aku tidak tahu bagaimana caranya.

Hatiku bagai teriris – iris. Untuk pertama kalinya dalam hidupku menyaksikan Donghae menitihkan air mata. Kutatap satu persatu bulir – bulir bening yang menjatuhi kedua belah pipinya, pipi suamiku mulai kusam tak terawat. Biasanya akulah yang setiap malam membersihkan wajah itu ketika ia pulang larut dan jatuh tertidur tanpa mencuci mukanya. Biasanya akulah yang melepaskan sepatu dan kemejanya yang tidak sempat ia lepaskan sebelum tidur karena kelelahan. Biasanya aku selalu memastikan bahwa tidurnya nyenyak. Aku mengerahkan seluruh upayaku untuknya namun kini tidak lagi… Bahkan untuk menggenggam tangannya aku tidak bisa.

Derit gesekan pintu menyita perhatianku dan juga Donghae. Tampak seorang wanita elegan yang mengenakan setelan abu – abu memasuki ruangan. Tentu aku sangat mengenal siapa wanita itu. Victoria. Meski pun Donghae menjelaskan padaku bahwa kedatangan mantan tunangannya itu ke apartement kami hanya untuk mengucapkan salam perpisahan dan permohonan maaf sebelum ia menikah, tetap saja perasaan tidak nyaman didalam diriku kembali berkobar.

Victoria berdiri menempati posisiku saat ini, terpaksa aku menyingkir dari sana. Ternyata sangat menyakitkan menjadi mahluk tak kasat mata.

“Apakah sudah ada perkembangan ? Lalu bagaimana keadaanmu Oppa ? Apakah kau sudah makan ?” tanya wanita itu. Tepat sesuai dugaanku wanita itu tidak sekalipun memikirkan keadaanku yang sedang sekarat. Victoria hanya menghawatirkan keadaan Donghae yang sejujurnya membuatku muak. Atau besar kemungkinan ia menaruh kejengkelan padaku karena membuat Donghae menjadi seperti ini.

“Pergilah Vic, aku tidak mau Yoona salah paham lagi.” Pinta Donghae tanpa menatap Victoria sedikit pun. Aku sangat bersyukur bahwa saat ini fokus perhatian Donghae masih berpusat padaku.

“Dia sedang koma.”

Aku terkekeh, rasanya ingin melancarkan caci maki. Kenapa memangnya kalau aku sedang koma ? apa kau berharap aku mati ? Cih…

“Dia bisa mendengar kita, aku yakin.”

“Mendengar ?” Victoria terdengar sinis. Aku ingin sekali menamparnya kalau perlu.

“Dia bahkan tidak bisa melakukan apapun.”

Kupalingkan pandanganku menatap Donghae yang tampaknya tidak terima.

“Lalu kau pikir apa yang bisa dilakukannya dengan hanya bermodalkan pendengaran ?”

Donghae tampak geram, “Vic—“

“Aku kesini untuk menjenguknya.”

Tarikan napas Donghae terbilang panjang seolah menahan letupan bara api yang mengepul. Dia pasti sangat kesal menghadapi wanita itu. Donghae adalah lelaki penyabar namun aku sangsi bahwa Victoria adalah wanita yang patut diperlakukan sesabar mungkin.

“Dia akan baik – baik saja bersamaku dan kuharap kau tidak membuat keributan disini.” Kali ini tatapan Donghae membidik tajam kearah Victoria yang mematung.

“Yoona melihat kita.”

“Kau jangan gila, Oppa.”

“Aku tidak gila, aku merasakannya. Jadi lebih baik kau pergi.” Pinta Donghae sekali lagi. Kali ini intonasinya terdengar mengusir.

Victoria terkekeh namun begitu wajahnya sangat miris dimataku.

“Baiklah. Sebelumnya mianhae atas kekacauan yang telah kuperbuat. Dan ini, undangan pernikahanku. Aku tidak berharap kau akan datang Oppa. Aku hanya berusaha tetap menghormatimu.”

Kupikir ia akan pergi usai meletakkan sekeping undangan emas diatas meja, namun ternyata aku salah. Victoria kembali menatap Donghae dan melanjutkan ceramahnya.

“Sebagai sahabat, aku tidak pernah memprotesmu ketika kau selalu memikirkan Yoona sepanjang waktu. Wajar kau seperti itu karena dia isrimu. Aku tahu kau sangat mencintainya. Kau beruntung mendapatkan Yoona begitu sebaliknya tapi bukan berarti kau harus merana seperti ini sampai – sampai melupakan kesehatanmu, Oppa.”

“Pergilah kumohon—“ lebih dari sebelumnya, suara Donghae berubah dingin dan datar.

Aku berdiri kaku melihatnya yang tiba – tiba terdiam dengan wajah putus asa. Ada apa dengan wajahmu Oppa ?

“Baik…” tatap wanita itu nanar, “Selamat tinggal.”

Lalu Victoria melesat pergi dan menghilang dibalik pintu yang menutup.

Percaya atau tidak… menerima atau mengingkari… berpihak atau melawan… paragraf panjang yang diungkapkan Victoria mengenai Donghae adalah sebenar – benarnya apa yang terjadi pada lelaki itu saat ini. Donghae terlalu merana, lelaki itu terlalu meratapi keadaanku yang tidak kunjung mengalami perubahan. Donghae tidak lagi memperdulikan dirinya sendiri terlebih lingkungan sekitarnya. Donghae seolah kehilangan dunianya. Lelaki itu hanya memfokuskan diri, menatap keadaanku yang terbaring tidak berdaya.

Dan apa yang bisa kulakukan saat ini ?

Menangis…

Apakah roh bisa menangis ?

Aku ingin menangis.

………

Aku iri pada mereka, orang – orang yang masih memiliki kesempatan untuk menghirup udara. Mereka mampu melakukan apa saja atau setidaknya mengendalikan beberapa aktivitas kecil seperti menyentuh benda, memakan makanan dan merasakan kesejukan air. Sementara aku ? tidak.

Saat ini aku duduk melayang disebuah bangku memanjang. Duduk sendiri meratapi nasibku diantara kesibukan orang – orang yang mondar – mandir menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa diantara mereka masih bisa tersenyum meski pun dalam kondisi lemah diatas kursi roda, setidaknya mereka mampu merasakan kasih sayang secara langsung dari orang – orang sekitarnya. Mereka hidup, itulah yang terpenting. Sementara aku ? tidak ada yang bisa dibanggakan dari kondisiku saat ini. Bahkan ketika duduk, aku sebatas merasa bahwa tubuhku tidak benar – benar menyentuh permukaan bangku. Aku hanya melayang – layang diatasnya terlebih ketika berjalan, aku merasa bahwa kedua kakiku rasanya tidak menapaki lantai. Saat aku sengaja ingin menyentuh sesuatu, benda itu akan tertembus oleh tangaku. Aku benar – benar tersiksa menjalani peranku sebagai mahluk tak kasat mata.

Pandanganku tiba – tiba mengabur. Bulir – bulir hangat lantas memacu dari mataku, kehangatannya merembes kebawah. Satu persatu butiran itu menetes – netes hingga menganak sungai memenuhi kedua belah pipiku. Apa ini ? Aku menangis ? jadi, roh bisa menangis ? tanpa sadar aku bergumam seperti orang bodoh, namun siapa perduli, toh tidak ada yang bisa mendengarku saat ini. Mendadak aku menyadari kelebihan menjadi mahluk tak kasat mata. Ketika menangis tidak ada yang melihat, ketika berteriak tidak ada yang mendengarnya. Sempurna…

“Aigooo.. lelah sekali ya…” kulihat seorang lelaki tua mengenakan jaket denim lusuh duduk disampingku. Lelaki itu berkipas – kipas kecil menggukan selembar kertas putih ditangannya.

Aku memperhatikan penampilan lelaki tua yang duduk disampingku dengan seksama sebab aku adalah tipe orang yang cukup peka terhadap masalah penampilan, jadi akan mudah bagiku mendeteksi penampilan seseorang yang tidak enak dipandang. Dan penilaianku terhadap penampilan lelaki tua itu sangat buruk. Tidak hanya pakaiannya yang lusuh, akan tetapi sekujur kulitnya ditambah rambutnya yang dipenuhi uban terlihat sangat lepek dan kusam.

Lelaki tua itu menoleh kearahku. Sementara itu aku terus memperhatikannya ketika kusadari sesuatu yang janggal semakin menegas disini. Ia menatapku tepat kedalam bola mata seolah – olah ia bisa melihatku secara langsung.

“Kenapa ? apakah aku begitu menjijikkan ?”

Aku terkesiap. Beberapa kali aku mengerjapkan mata sebagai tanda ketidakpercayaan. Jadi sejak tadi lelaki tua itu menyadari kehadiranku dan… mungkinkah ia tersinggung karena pengamatanku yang sedikit sinis.

“A-ani…”

“Sudahlah jujur saja.” Tepisnya. Aku terdiam dan sibuk menerka – nerka sendiri. Aku mulai bingung bagaimana asal mula lelaki itu menyadari kehadiranku. Belakangan ini bermunculan orang – orang yang mengaku sebagai paranormal atau seorang indigo, mungkinkah ia salah satunya ?

“Hmm beginilah kalau tidak ada seorang istri yang merawatku dan hanya tinggal bersama seorang cucu lelaki yang masih single.” Keluhnya tiba – tiba. Aku kembali menatapnya untuk memastikan. Benar saja lelaki tua itu membalas tatapanku.

Kali ini giliran lelaki tua itu yang memperhatikan penampilanku. Tatapannya membuatku risih.

“Apakah kau berakhir seperti ini setelah mengalami kecelakaan ?”

Bibirku menganga ingin mengatakan sesuatu, tapi rasannya terlalu sulit. Kecelakaan ? aku bahkan tidak ingat kejadian apa yang menimpaku hingga menjadi seperti ini. Tapi petanyaan itu cukup mendasar mengingat kondisi tubuhku yang dipenuhi luka – luka saat dirumah sakit seperti baru saja tertabrak mobil. Mungkinkah saat itu taksi yang kutumpangi menabrak sesuatu ?

Tetap saja aku merasa aneh dengan lelaki tua itu…

“A-anda siapa ?”

“Aku…” Lelaki tua itu tertawa. Aku menatapnya terheran – heran. Kenapa dia tertawa ? memangnya apa yang lucu ?

“Kuberitahu ya, kau seperti ini karena kau sendirilah yang menolak untuk kembali kedalam jasadmu.”

“A-apa ?” Aku benar – benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakannya. Aku… menolak untuk kembali ? Bahkan sebaliknya… Aku ingin kembali menyandang statusku sebagai manusia yang utuh dan menjalani hari – hariku seperti biasa. Aku ingin secepatnya menyentuh suamiku, aku sangat merindukannya.

“Coba ingat – ingat lagi kejadian apa yang kira – kira membuat hati kecilmu menolak, hmm ?”

Kejadian ? Seingatku tidak ada sesuatu yang terjadi… kecuali, kecuali pertengkaran kami karena Victoria. Saat itu aku melarikan diri dari apartemen meninggalkan Donghae tanpa sedikit pun percaya dengan apa yang dikatakannya tentang Victoria. Donghae mengejarku, aku menaiki taksi hendak menginap di rumah sahabatku Kim Taeyeon lalu… entahlah… selanjutnya aku hanya mengingat kejadian saat aku berdiri dikoridor rumah sakit. Tahu – tahu wujudku berubah menjadi roh gentayangan dan suatu ketika aku melihat jasadku yang dipenuhi luka – luka.

Junho.

Junho adalah salah satu sahabatku… kala itu aku melihatnya bersama Donghae. Mereka berdua turut serta mendorong tubuhku yang sedang sekarat, namun entah bagaimana Junho tiba – tiba menghilang. Mungkinkah orang itu mengetahui sesuatu ?

Aku bergeleng. Tidak… sepertinya tidak ada sesuatu yang membuatku menolak untuk kembali.

Sesaat ketika aku tersadar dari pikiranku, lantas hendak menanyakan sesuatunya lebih jauh, lelaki tua itu sudah menghilang.

Kemana dia ? kutelusuri sudut – sudut disekitarku. Kosong. Lelaki tua itu seolah masuk kedalam dimensi lain dan menghilang tanpa jejak. Tapi, siapa sebenarnya dia ? Aku mulai bingung mengingat kemampuannya menebak masalahku dan maksud dari kata – katanya berupa; Kejadian yang membuat hati kecilmu menolak untuk kembali…

Apa ?

…….

Aku berjalan meyusuri koridor rumah sakit sambil mengiingat – ingat kejadian setelah aku menumpangi taksi. Apakah benar perkiraan lelaki tua itu bahwa aku terlibat kecelakaan dan harus berakhir dalam kondisi sekarat ?

Ditengah perjalananku menuju ke ruang perawatanku, sekilas aku melihat seseorang mirip Junho sedang berjalan sambil menoleh kesana kemari seolah – olah mencari keberadaan sebuah ruangan. Aku lantas berlari menghampirinya meskipun ia tidak bisa melihatku. Aku yakin Junho berniat menjengukku.

“Junho Oppa.” Panggilku antusias, namun tentu saja Junho tidak akan bisa menyadari kehadiranku. Lelaki itu terus berjalan menerka – nerka arah sesekali melirik ponselnya yang menampilkan catatan -catatan kecil.

Seusai dugaanku, Junho menyambangi sebuah ruangan, tepatnya ruangan tempat dimana tubuhku yang sedang koma mendapatkan penanganan intensif. Kudengar lelaki itu menghembuskan napas kasar. Mungkin saja ia tengah mengalami kegugupan berlebihan mengingat sebentar lagi ia akan bertemu dengan Donghae. Seperti yang kukatakan sebelumnya, hubungan mereka terbilang buruk.

Pintu ruanganku terbuka. Rupanya seseorang baru saja menarik gangang pintu dari dalam. Seketika tampaklah sosok Donghae yang sepertinya hendak keluar dari ruangan itu.

Donghae Oppa, Junho ingin menjengukku. Sering – seringlah bertemu satu sama lain, tapi sebelumnya kalian harus berbaikan bukan ? kalian harus berbaikan untuk mendukung kesembuhanku…

Begitulah sederet pesan yang ingin kuutarakan padanya, bukan hanya kepada Donghae tetapi juga Junho. Kalau saja memungkinkan aku ingin sekali berteriak di telinga Donghae dan Junho. Sudah sejak lama aku menginginkan suamiku dan sahabatku bisa lebih akrab dan saling menyapa satu sama lain.

Donghae dan Junho berdiri berhadapan. Tatapan mereka saling bersinggungan cenderung menajam, terutama Donghae yang tampak berapi – api. Berada diantara mereka, aku hanya terdiam menebak – nebak. Aku tahu Donghae tidak pernah menyukai Junho namun tatapannya saat ini terlampau mengerikan dibanding sebelumnya. Aku belum pernah sekali pun menemukan wajah Donghae berubah merah padam dalam waktu singkat, dan itu terjadi saat ini ketika ia menatap Junho hanya dalam sekali pandang.

“Beraninya kau menampakkan wajahmu !”

Betapa aku terkejut setengah mati menyaksikan bagaimana Donghae mendorong tubuh Junho kesisi tembok dengan sangat keras hingga memantulkan bunyi kedebuk. Tidak tanggung – tanggung, Donghae tanpa ampun menarik kerah kemeja Junho kuat – kuat.

“Kau senang Yoona keguguran ? Kau senang anak kami mati, hah ?!”

Keguguran ? Siapa ?

Aku hanya bertingkah seperti orang bodoh ditengah – tengah mereka. Aku hanya bisa menyimak tanpa tahu apa – apa.

”Kau pikir setelah membuat Yoona ketakutan, kabur lalu akhirnya mengalami kecelakaan… kau bisa dengan mudah memisahkan kami. Jangan mimpi ! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melepaskan Yoona terlebih melepaskannya untuk bajingan brengsek sepertimu ?!!”

Fokus pandanganku seolah melayang – layang. Suara Donghae masih terdengar ditelingaku namun tiba – tiba aku tidak dapat berkonsentrasi menyimaknya. Pikiranku lebih dulu dibutakan oleh sesuatu. Aku tidak tahu apa… tapi bayang – bayang aneh didalam kepalaku seolah berputar – putar tanpa perintah. Segala yang kulihat disana bagaikan tumpukan puzzle yang hendak mengumpulkan bentuk aslinya usai lama berserakan, atau lebih jelasnya, aku seolah menyaksikan pertunjukan film pendek secara acak didalam kepalaku sendiri.

Film pendek itu bagaikan menari – nari dimana akulah yang menjadi pemeran utamnya. Aku menyaksikan diriku sendiri menumpangi taksi lalu pergi ke sebuah klinik. Aku bertemu dengan seorang dokter wanita yang mengatakan bahwa aku… hamil.

Entah bagaimana aku sudah berada didalam Club dan bertemu Junho. Kami mengobrol cukup lama hingga keributan itu mengacaukan segalanya…

Sekelebat bayang – bayang itu bukanlah sesuatu yang biasa. Mereka sangat nyata bahkan hampir keseluruhan cerita menyerupai keajadian asli yang pernah kualami sebelumnya.

Tidak. Ini benar – benar nyata… Apa yang kusaksikan saat ini bagaikan sebuah ingatan berharga yang datang mengetuk memoriku setelah sekian lama terlupa.

Perasaan tersesat yang terlampau menghantuiku berangsur – angsur menemukan jalan keluarnya secara tak terduga.

.

.

.

Penulis:

nyanya nyinyi nyonyo :p

7 tanggapan untuk “[ Oneshoot ] FF YoonHae – All My Life

  1. Awalnya baca bingung…pas udah di pertengahan mulai ngerti oh ternyata donghae ga selingkuh…..semangat lagi nulis …..kutunggu ff mu yg lain…..

  2. Akhir nya bisa baca fanfic yoonhae yg bru lagi,, awal nya aq pikir donghae bnr” Selingkuh sama Victoria,, ternyata yoona hanya salah paham,, dan berakhir dengan kehilangan janin nya,, sangat di sayangkan yoonhae harus kehilangan anak nya author

Tinggalkan komentar